Nationalgeoraphic.co.id—Sejarah adalah kisah yang bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak mengulangi terjadinya hal-hal buruk. Salah satu hal buruk yang pernah terjadi pada orang-orang Roma kuno adalah serangan suku Hun yang dipimpin oleh Attila ke Romawi.
Attila sang Hun adalah salah satu panglima perang paling terkenal dalam sejarah. Meski dia secara tradisional dianggap sebagai orang barbar haus darah yang hanya termotivasi oleh nafsu akan emas, hasil sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa serangannya yang terus-menerus terhadap Kekaisaran Romawi mungkin didorong oleh bencana kekeringan.
Setelah menganalisis data cincin pohon selama 2.000 tahun, para peneliti dalah studi ini menemukan bahwa banyak serangan paling epik oleh Attila terjadi selama tahun-tahun yang sangat kering. Oleh karena itu, agresinya mungkin merupakan upaya untuk mengurangi dampak iklim yang tidak stabil.
Meskipun asal-usul orang-orang Hun tetap tidak pasti, mereka diyakini telah menyeberang ke Eropa Timur dari Asia Tengah sekitar tahun 370 Masehi, sebelum menetap di Dataran Besar Hongaria di sebelah timur Sungai Danube. Menyusul naiknya Attila ke tampuk kekuasaan pada tahun 434 Masehi, suku Hun semakin menjarah sisi timur Kekaisaran Romawi, dan sebagian besar dipuji karena mempercepat jatuhnya Romawi.
“Sumber sejarah memberi tahu kita bahwa diplomasi Romawi dan Hun sangat kompleks,” jelas Susanne Hakenbeck, peneliti dalam studi yang telah terbit di Journal of Roman Archaeology pada 14 Desember 2022 ini.
“Awalnya melibatkan pengaturan yang saling menguntungkan, sehingga elite Hun mendapatkan akses ke sejumlah besar emas. Sistem kolaborasi ini rusak pada tahun 440-an, yang mengarah ke penggerebekan reguler di tanah Romawi dan permintaan emas yang meningkat," paparnya seperti dikutip dari IFL Science.
Para peneliti mengatakan bahwa gangguan diplomatik ini saja mungkin tidak menjelaskan serangan militer Attila, dan menunjukkan bahwa periode tersebut bertepatan dengan serangkaian kekeringan. Dengan menggunakan data isotop karbon dan oksigen yang stabil dari cincin pohon ek, para peneliti dalam studi ini merekonstruksi iklim hidro Eropa Tengah, dan menemukan bahwa serangan suku Hun yang paling menghancurkan pada tahun 447, 451 dan 452 semuanya terjadi selama tahun-tahun yang sangat kering.
“Data cincin pohon memberi kita peluang luar biasa untuk menghubungkan kondisi iklim dengan aktivitas manusia setiap tahunnya,” kata Profesor Ulf Büntgen yang juga menjadi penulis dalam studi ini.
“Kami menemukan bahwa periode-periode kekeringan yang terekam dalam sinyal biokimia di lingkaran-lingkaran pohon bertepatan dengan intensifikasi aktivitas penyerangan di wilayah tersebut.”
Berdasarkan temuan ini, para peneliti menulis bahwa "kekerasan suku Hun yang tampaknya tidak dapat dijelaskan mungkin merupakan salah satu strategi untuk mengatasi iklim ekstrem dalam konteks yang lebih luas dari perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi pada saat itu."
Asumsi ini diperkuat oleh analisis isotop sebelumnya dari kerangka-kerangka orang-orang Hun abad kelima. Analisis ini mengungkapkan perubahan mendadak dalam diet atau pola makan mereka yang mungkin mencerminkan berbagai strategi yang digunakan oleh suku Hun dalam menanggapi iklim yang tidak menentu.
Para peneliti berspekulasi bahwa beberapa penggerebekan kelompok suku Hun mungkin dilakukan untuk mengamankan makanan dan ternak, meskipun mereka mengakui bahwa diperlukan lebih banyak bukti untuk mendukung teori ini. Mereka juga mengatakan bahwa tuntutan Attila agar orang Romawi menyerahkan sebidang wilayah luas yang mengapit Danube mungkin merupakan strategi yang meringankan krisis iklim, karena tanah di dataran banjir akan memberikan ketahanan pangan yang lebih besar pada saat kekeringan.
Selain itu, iklim yang tidak stabil mungkin telah menyebabkan restrukturisasi sosial besar-besaran dalam komunitas Hun, karena para penggembala meninggalkan ternak mereka untuk menjadi perampok. Munculnya partai-partai perang ini kemudian akan mengarah pada jaringan kesetiaan baru antara para panglima perang dengan Attila di puncak hierarki.
Aliansi semacam itu mungkin akan dipertahankan dengan subsidi emas, yang mungkin menjelaskan permintaan Attila yang meningkat akan emas Romawi.
Baca Juga: Atilla sang Hun, Mimpi Buruk Bangsa Romawi yang Menjadi Kenyataan
Baca Juga: Andil Bangsa Hun, Visigoth dan Parthia dalam Keruntuhan Romawi Kuno
Baca Juga: Apakah Atilla sang Hun adalah Pemimpin Barbar Terhebat dalam Sejarah?
“Gangguan ekonomi akibat iklim mungkin mengharuskan Attila dan para petinggi lainnya untuk mengekstraksi emas dari provinsi-provinsi Romawi untuk menjaga pasukan perang dan mempertahankan loyalitas antar-elite,” jelas Hakenbeck.
Untungnya bagi orang-orang Romawi, Attila meninggal mendadak pada tahun 453 Masehi setelah tersedak darahnya sendiri setelah mimisan, dan orang-orang Hun menghilang tak lama kemudian. Namun, kerusakan yang telah mereka timbulkan terbukti menjadi bencana besar bagi Kekaisaran Romawi dan menyoroti dampak yang dapat ditimbulkan oleh krisis iklim terhadap peradaban yang paling kuat sekalipun.
Berbagai penelitian telah menyebutkan bahwa krisis iklim dapat menyebabkan turunnya pasokan pangan untuk manusia, menurunnya jumlah populasi satwa liar, serta meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Pendek kata, krisis iklim dapat mengancam kelangsungan setiap makhluk hidup di bumi ini.
Source | : | IFL Science |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR