Herlina adalah Executive Director dan yang membangun Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Kisah-kisah kolaborasi dia ungkapkan berdasarkan pengamatannya di berbagai daerah dalam upaya pengelolaan hutan lestari dan mitigasi perubahan iklim.
Herlina pernah menjadi peneliti di bidang kehutanan dan lingkungan dari Monash University, Australia. Pada forum itu, ia menceritakan pengalamannya sebagai peneliti di pedalaman kawasan konservasi berbulan-bulan.
Baca Juga: Mengenal 'Mbok Semok', Etos Perempuan Pengrajin Batik di Girilayu
Baca Juga: Tatkala Prajurit Perempuan Mempertahankan Keraton Yogyakarta
Baca Juga: Menelisik Alasan Tentara dan Polisi Mencari Perawat sebagai Pasangan
Baca Juga: Perempuan Berisiko Terjebak di Kendaraan Usai Kecelakaan, Kenapa?
Untuk itu, perlu bagi media massa juga mewartakan tentang usaha pelestarian alam dari segi sains dan kebudayaan masyarakat. Sampai saat ini, jurnalisme yang membahas isu perubahan iklim masih lebih sedikit daripada politik, korupsi, terorisme, dan selebriti.
Mewartakan tentang perubahan iklim dan dampaknya punya sisi yang sangat penting. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia dalam forum yang sama mengatakan, mewarta pelestarian alam punya kadar yang sama pentingnya, karena berhubungan dengan kemanusiaan.
"Mungkin, ada satu kelelahan menghadapi isu konservasi ini sebagai narasi yang usang. Jadi PR-nya hari ini adalah memunculkan sudut pandang baru, memberi peluang baru bagi Bumi," lanjut Didi. "Jadi memang, selama ini yang kami giatkan adalah bagaimana memunculkan hipotesa-hipotesa baru, lalu bukan hanya melihat dari segi kerusakan, tetapi harapan. Lalu kemudian membuat premis-premis baru, misalnya membuat isu conservation menjadi conversation."
Masalah lainnya terkait gender yakni jurnalisme sering kali disebut sebagai dunia yang maskulin. Padahal saat ini, jumlah perempuan yang turut bekerja di bidang jurnalistik, terutama pada isu lingkungan, mulai berkembang. Gagasan redaksi untuk topik, mulai mengurangi bias gender karena perempuan juga bisa menjabat sebagai pemimpin redaksi.
"Contohnya National Geographic," kata Didi. Pada periode sebelumnya, National Geographic memiliki Editor in Chief perempuan, Susan Goldberg. Dengan menaruh perempuan pada posisi penting redaksi, ada perspektif baru yang bisa muncul untuk diwartakan terkait isu lingkungan dan kebudayaan. "Makanya kami membuat tagar #PerempuanUntukPerubahan."
Di sisi lain, Herlina menambahkan, sangat jarang sekali di bidang pegiat dan penelitian pada masanya peneliti perempuan. Kondisi sulit seperti akses listrik dan kebersihan, mungkin menjadi salah satu alasannya. Meski saat ini jumlah peneliti perempuan di bidang perlindungan alam, baik di hutan dan laut, mulai menjamur, tetapi dunia ini masih didominasi laki-laki.
"Nah, kalau pendamping di tapak desa atau kampung juga tidak terlalu banyak. Padahal saat ini di Indonesia ada puluhan ribu desa dan kampung yang terletak di dalam sekitar hutan atau pesisir yang membutuhkan pendampingan," tuturnya. "Dan karena pendampingan perempuan juga diperlukan karena mereka memiliki perspektif berbeda dalam pendampingan."
Herlina mendorong supaya perempuan lebih mau lagi terlibat dalam pendampingan bersama masyarakat dan bekerja di lingkungan yang sulit. Tujuannya adalah membuka pemahaman baru tentang masyarakat setempat dalam mengelola hutan, dan pemikiran lain dari perempuan yang selama ini belum terungkap terkait pelestarian.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR