Baca Juga: Tradisi Berkirim Kartu Natal, Siapa yang Pertama Kali Memulainya?
Sinterklas datang ke Amerika Serikat bersama imigran Jerman dan Belanda pada abad ke-18 dan ke-19. Dia dipopulerkan dalam cerita-cerita oleh penulis Amerika seperti Washington Irving dan Clement Clarke Moore.
Ilustrator Thomas Nast menggunakan cerita rakyat Eropa untuk menciptakan Sinterklas yang popularitasnya segera menyebar ke seluruh dunia. Pada tahun 1890, pedagang James Edgar memulai kebiasaan yang tak terhapuskan hingga kini. Ia mengenakan kostum seperti Sinterklas dan menyapa anak-anak di toserbanya di Brockton, Massachusetts. Idenya “meledak” dan Sinterklas sering mengunjungi pusat perbelanjaan dan tempat umum sejak saat itu.
Asal usul kebiasaan perayaan Natal lainnya
Cahaya selalu menjadi bagian dari festival musim dingin, dengan ciri khas malam yang panjang dan gelap.
Lampu Natal elektrik adalah evolusi dari lilin kuno yang diletakkan orang Jerman di pohon mereka. Thomas Edison, penemu bola lampu, dikreditkan sebagai penemu rangkaian lampu pertama. Pada tahun 1882 rekan bisnisnya, Edward H. Johnson, menciptakan pohon Natal pertama yang diterangi dengan lampu berwarna.
Inovasi Amerika juga membentuk tradisi bertukar hadiah yang selalu populer di hari Natal. Pada abad ke-20, kertas pembungkus kado yang cantik menggantikan pembungkus kertas coklat. Ini dimulai ketika Rollie B. Hall, keluarga pendiri kartu ucapan Hallmark, menggunakan pelapis amplop bergaya Prancis setelah kehabisan kertas di tokonya.
Hallmark juga memiliki andil dalam tradisi kartu Natal modern. Perusahaan itu menggunakan kartu karton cetak kecil akhir abad ke-19 untuk membuat kartu yang lebih besar dengan format seperti buku.
Hadiah, kartu, dan dekorasi memeriahkan perayaan Natal. Akan tetapi bagi banyak orang, Natal belum lengkap tanpa makanan favorit mereka. Rumah roti jahe mendapatkan popularitas Natal di awal abad ke-19. Tradisi ini dimulai sejak Brothers Grimm menerbitkan kisah Hansel dan Gretel. Dalam dongeng itu, dua anak diculik oleh seorang penyihir yang tinggal di sebuah rumah dengan dinding yang terbuat dari roti jahe dan permen lainnya.
Hari raya yang semakin sekuler
Meskipun berawal dari perayaan agama, Natal akhirnya menjadi hari libur sekuler dan semakin dikomersialkan. “Itu memicu kekhawatiran selama berabad-abad,” kata sejarawan Lisa Jacobson. “Orang-orang mengeluh tentang komersialisasi Natal yang berlebihan sejak pertengahan abad ke-19,” katanya lagi.
Mereka yang takut hari raya menyimpang dari akar agamanya ada benarnya. Pada tahun 2019, sembilan dari sepuluh orang Amerika yang disurvei oleh Gallup mengatakan bahwa mereka merayakan Natal. Akan tetapi hanya 35 persen yang mengatakan bahwa mereka melihat hari raya tersebut sebagai “sangat religius”.
Namun dengan campuran tradisi pagan dan sisi religius, hari raya ini menawarkan sesuatu bagi semua orang yang merayakannya.
KOMENTAR