Nationalgeographic.co.id - Menurut studi baru di Universitas Tokyo, perubahan iklim dapat mengekspos bola alga "marimo" bawah air yang langka ke sinar matahari, sehingga dapat membunuh mereka. Hasil studi tersebut diterbitkan di International Journal of Molecular Sciences pada 21 Desember 2022.
Marimo adalah bola alga hijau yang hidup. Marimo terbesar di dunia dapat ditemukan di Danau Akan di Hokkaido, pulau utama di utara Jepang. Di sini mereka terlindung dari terlalu banyak sinar matahari musim dingin oleh lapisan es dan salju yang tebal, tetapi esnya menipis karena pemanasan global.
Para peneliti menemukan bahwa alga ini dapat bertahan hidup di bawah cahaya terang hingga empat jam dan akan pulih jika ditempatkan di bawah cahaya sedang selama 30 menit. Namun, alga akan mati saat terkena cahaya terang selama enam jam atau lebih. Tim berharap penemuan ini akan menyoroti ancaman perubahan iklim terhadap spesies yang terancam punah ini dan kebutuhan mendesak untuk melindungi habitatnya.
Beberapa orang memiliki kucing peliharaan, yang lain memelihara batu, tetapi bagaimana dengan alga peliharaan? Marimo adalah bola hijau alga bawah air yang lembut dan licin yang telah menjadi populer di kalangan turis, penggemar alam, dan pemilik akuarium. Ukurannya berkisar dari sekitar kacang polong hingga bola basket, dan terbentuk secara alami saat untaian mengambang dari alga Aegagropila linnaei digabungkan menjadi satu melalui gerakan air danau yang bergulung lembut.
Mereka hanya ditemukan di beberapa negara, dan marimo terbesar, yang ditemukan di Danau Akan, dapat tumbuh hingga berdiameter 30 sentimeter. Di Jepang, mereka sangat populer sehingga mereka memiliki festival tahunan, merchandise, dan bahkan maskot sendiri. Namun, marimo adalah spesies yang terancam punah dan secara global jumlahnya pun menurun.
Marimo mengandalkan nutrisi dan fotosintesis untuk bertahan hidup. Penurunan mereka biasanya dikaitkan dengan campur tangan manusia yang mengubah atau mencemari danau air tawar tempat mereka tinggal. Namun, belum banyak penelitian mengenai pengaruh perubahan akses terhadap sinar matahari.
Baca Juga: Akibat Migrasi Manusia ke Madagaskar, Sebagian Spesies Unik Hilang
Baca Juga: Perubahan Iklim Tidak Menimbulkan Masalah Baru, Kitalah Masalahnya
Baca Juga: Pemanasan Global Menggandakan Pemanasan Laut Ekstrem Sekitar Jepang
"Kami tahu bahwa marimo dapat bertahan hidup di bawah sinar matahari yang cerah di perairan musim panas yang hangat, tetapi sifat fotosintesis marimo pada suhu musim dingin yang rendah belum dipelajari, jadi kami terpesona oleh hal ini," kata Asisten Proyek Profesor Masaru Kono dari Graduate School of Science di Universitas Tokyo. "Kami ingin mengetahui apakah Marimo dapat menoleransinya dan bagaimana mereka merespons lingkungan bersuhu rendah dengan intensitas cahaya tinggi."
Kono dan tim mengunjungi Teluk Churui di Danau Akan pada musim dingin untuk mengukur suhu dan intensitas cahaya di bawah air, baik dengan maupun tanpa lapisan es. Pertama, mereka membuat lubang kecil di es 80 meter lepas pantai dan kemudian mengukir persegi berukuran 2,5 kali 2,5 meter persegi untuk mempelajarinya. Mereka juga dengan hati-hati mengumpulkan beberapa bola marimo seukuran tolak peluru (10-15 cm) dengan tangan. Kembali ke Tokyo, tim menciptakan kembali kondisi lingkungan menggunakan baki es yang dibuat dengan pembuat es dan lampu LED putih. Untaian alga ini dikeluarkan dari bola marimo dan diuji kemampuan fotosintesis normalnya. Mereka kemudian ditempatkan dalam wadah di dalam es di bawah cahaya buatan, yang disesuaikan untuk bersinar pada intensitas yang berbeda untuk periode waktu yang berbeda.
"Kami mendemonstrasikan temuan baru bahwa sel-sel yang rusak di marimo dapat memperbaiki dirinya sendiri bahkan setelah terpapar simulasi sinar matahari yang kuat hingga empat jam pada suhu dingin (2-4 derajat celcius), bila diikuti dengan paparan cahaya sedang hanya selama 30 menit. Cahaya sedang ini memiliki efek restoratif yang tidak terjadi dalam gelap. Namun, ketika terkena sinar matahari yang kuat selama enam jam atau lebih, sel-sel tertentu yang terlibat dalam fotosintesis rusak dan alga mati, bahkan setelah dirawat dengan cahaya sedang," jelas Kono. "Hasil ini menunjukkan bahwa photoinhibition (ketidakmampuan untuk berfotosintesis karena kerusakan sel) akan menjadi ancaman serius bagi marimo di Danau Akan, yang menerima sinar matahari lebih dari 10 jam sehari di musim dingin, jika pemanasan global berlanjut dan lapisan es menyusut."
Selanjutnya, tim ingin mencari tahu apa yang akan terjadi pada bola marimo utuh dan apakah hasilnya akan sama dengan utas yang lebih kecil.
“Dalam penelitian ini, kami menggunakan sel berfilamen yang dibedah, jadi kami tidak mempertimbangkan efek dari struktur marimo sferis dan bagaimana itu dapat melindungi dari paparan cahaya terang. Namun, jika kerusakan sel permukaan meningkat di bawah paparan sinar matahari langsung yang lebih lama, dalam kasus ekstrem, hal ini dapat memengaruhi pemeliharaan tubuh bulat mereka dan menyebabkan hilangnya marimo raksasa. Jadi, kami perlu terus memantau kondisi di Danau Akan ke depannya," ujar Kono.
Kono berharap penelitian ini akan membantu pemerintah lokal dan nasional untuk memahami kebutuhan mendesak untuk melindungi marimo Jepang yang unik dan habitatnya. “Kami juga berharap ini menjadi kesempatan bagi semua orang untuk berpikir serius tentang dampak pemanasan global,” ujarnya.
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR