Nationalgeographic.co.id—Pemanasan selama bulan-bulan musim panas di Eropa jauh lebih cepat daripada rata-rata global. Demikian menurut sebuah studi baru yang dilakukan oleh para peneliti di Universitas Stockholm. Hasil kajian mereka telah diterbitkan dalam Journal of Geophysical Research Atmospheres pada 4 November.
Sebagai akibat dari emisi gas rumah kaca oleh manusia, iklim di seluruh benua juga menjadi lebih kering, khususnya di Eropa selatan. Hal ini yang menyebabkan gelombang panas menjadi lebih buruk dan peningkatan risiko kebakaran.
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB, pemanasan di wilayah daratan terjadi secara signifikan lebih cepat daripada di lautan. Dengan rata-rata 1,6 derajat dan 0,9 derajat. Artinya, anggaran emisi gas rumah kaca global untuk bertahan di bawah pemanasan 1,5 derajat di daratan telah habis. Kini, studi baru menunjukkan bahwa anggaran emisi untuk menghindari pemanasan 2 derajat di sebagian besar Eropa selama setengah tahun musim panas (April-September) juga telah habis. Nyatanya, pengukuran mengungkapkan bahwa pemanasan selama bulan-bulan musim panas di sebagian besar Eropa selama empat dekade terakhir telah melampaui dua derajat.
"Perubahan iklim serius karena menyebabkan antara lain, gelombang panas yang lebih sering terjadi di Eropa. Ini, pada gilirannya, meningkatkan risiko kebakaran, seperti kebakaran hebat di Eropa selatan pada musim panas 2022," kata Paul Glantz , Associate Professor di Departemen Ilmu Lingkungan, Universitas Stockholm, dan penulis utama studi tersebut.
Di Eropa selatan, umpan balik positif yang jelas disebabkan oleh pemanasan global telah terbukti. Adanya pemanasan yang meningkat karena tanah yang lebih kering dan penguapan yang berkurang. Selain itu, tutupan awan lebih sedikit di sebagian besar Eropa, mungkin karena lebih sedikit uap air di udara.
"Apa yang kita lihat di Eropa selatan sejalan dengan prediksi IPCC, yaitu peningkatan dampak manusia terhadap efek rumah kaca akan menyebabkan area kering di Bumi menjadi lebih kering," jelas Glantz.
Studi ini juga mencakup bagian tentang perkiraan dampak partikel aerosol terhadap kenaikan suhu. Menurut Paul Glantz, pemanasan cepat di Eropa Tengah dan Timur, pertama dan terutama merupakan konsekuensi dari emisi manusia dari gas rumah kaca berumur panjang, seperti karbon dioksida. Tetapi karena emisi partikel aerosol berumur pendek, misalnya dari pembangkit listrik tenaga batu bara telah menurun drastis selama empat dekade terakhir. Sedangkan efek gabungannya telah menyebabkan peningkatan suhu ekstrem lebih dari dua derajat.
“Partikel aerosol di udara, sebelum mulai berkurang pada awal 1980-an di Eropa, telah menutupi pemanasan yang disebabkan oleh gas rumah kaca manusia. Ini dengan rata-rata lebih dari satu derajat selama setengah tahun musim panas. Saat aerosol di atmosfer menurun, suhu meningkat dengan cepat. Emisi karbon dioksida manusia masih menjadi ancaman terbesar karena memengaruhi iklim selama ratusan hingga ribuan tahun," tutur Glantz.
Pembakaran fosil menyebabkan pelepasan partikel aerosol dan gas rumah kaca. Meskipun sumbernya umum, pengaruhnya terhadap iklim berbeda.
Gas rumah kaca sebagian besar tidak terpengaruh oleh radiasi matahari sementara mereka menyerap radiasi infra merah secara efisien. Ini yang menyebabkan emisi ulang ke permukaan bumi. Bumi menyerap baik radiasi matahari maupun radiasi infra merah, yang secara khusus menyebabkan pemanasan di bagian bawah atmosfer.
Baca Juga: Tumbuhan Beradaptasi dengan Perubahan Iklim Melalui Ingatan Epigenetik
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR