Nationalgeographic.co.id—Seorang jurnalis olahraga kenamaan pernah berkata bahwa "Pelé tidak terlahir sebagai manusia, dia akan terlahir sebagai sepak bola”. Tulisan jurnalis tersebut menggugah saya untuk lebih dekat dengan sang legenda.
Lahir di negara bagian Minas Gerais pada tahun 1940, keluarga Pelé pindah ke kota terdekat bernama Bauru untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Dia dibesarkan dalam kemiskinan. "Bahkan, orang tuanya bahkan tidak mampu membeli sepak bola," tuis Chris Goldenbaum.
Chris menulisnya kepada Aljazeera dalam artikel berjudul Skills, charisma, mysticism: The life of football legend Pele yang diterbitkan pada 29 Desember 2022.
Edson Arantes do Nascimento cilik itu sangat mencintai sepak bola sejak kecil. Sayangnya, kemiskinan yang mendera keluarganya, membuat dia kesulitan untuk memiliki bola atau sepatu.
Pelé cilik yang miskin, tumbuh dengan bola temannya, dan bermain tanpa alas kaki jadi kebiasaannya. Alih-alih memiliki sepatu bola, sepatu untuk sekolah pun dia tak punya.
Saking miskinnya, Pelé cilik membuntal sebuah koran dengan kaus kaki usang yang sudah tidak terpakai. Baginya, itu cukup untuk memenuhi hasratnya terhadap sepak bola. Dari situ juga, orang-orang tahu bahwa bocah itu memiliki sesuatu yang berbeda dan menakjubkan.
Saat Pelé berusia 15 tahun, pelatih lokal, Waldemar de Brito, mengajaknya bermain untuk klub sepak bola Santos. Setibanya di markas klub, Brito meyakinkan kepada pelatih, "Anak ini akan menjadi yang terbaik di dunia."
Dalam beberapa menit permainan di sesi latihan, pelatih terkesan dengan Pelé dan langsung mengontraknya.
Saat itu tahun 1956. Dua tahun kemudian, Pelé akan berada di Swedia, memimpin Brasil meraih gelar paling prestis di muka bumi, Piala Dunia. Menariknya, trofi Piala Dunia ini adalah yang pertama dari enam gelar yang saat ini dikoleksi Brasil.
Apakah kebetulan? Jelas tidak, dia adalah legenda dan terlahir untuk sepak bola. "Dia bahkan mencetak dua gol di final melawan Swedia. Kala itu Pelé masih berusia 17 tahun," tambah Chris.
Tak pernah dibayangkan sekalipun dalam hidupnya, seorang anak miskin yang menendang buntalan kaus kaki berisi koran, bisa mempersembahkan trofi bergengsi pertama bagi negerinya.
Akibat tak menyangka semuanya, wajar saja, "pada peluit akhir, anak ajaib itu pingsan di lapangan saat digendong oleh penonton yang merayakannya," terusnya.
Namun, prestasi gemilangnya tidak berhenti pada Piala Dunia 1958. Dalam delapan tahun, Pelé sudah mempersembahkan trofi Piala Dunia ketiga secara beruntun untuk timnasnya. Menjadikan Brasil dikenal sebagai negara sepak bola, terkuat sepanjang sejarah.
Bagi klubnya, Santos, Ia juga mempersembahkan dua Copa Libertadores, setara Liga Champions Amerika Selatan, dan dua Piala Interkontinental, turnamen tahunan yang diadakan antara tim terbaik di Eropa dan Amerika Selatan.
"Seolah dia berhasil membangun peradaban sepak bola bersama Santos," lanjutnya. Sampai pada tahun 1960-an, ia mempersembahkan 25 gelar bergengsi untuk Santos.
Baca Juga: Pemain Sepak Bola di atas 35 Tahun Berisiko Terkena Sakit Jantung
Baca Juga: Menstruasi dan Kontrasepsi Masih Tabu dalam Sepak Bola Wanita
Baca Juga: Ketimbang Joging, Sepak Bola Lebih Baik untuk Kesehatan Tulang
Baca Juga: Sains Mengungkap Rahasia Teknik 'Shooting' Luar Biasa dalam Sepak Bola
Dia benar-benar menjadi pemain paling berprestasi dalam sepak bola. Pelé terkenal sebagai pribadi yang santai, baik hati, ceria, dan seorang rekan yang bisa diandalkan. Setelah pensiun, ia tetap dikenal sebagai pribadi yang luar biasa dan legenda bagi sepak bola dunia.
Dia menghabiskan kehidupan pasca-sepakbolanya dengan terlibat dalam aktivisme sosial, termasuk menjadi duta niat baik UNESCO.Pada tahun 1995, ia menduduki jabatan publik sebagai menteri olahraga, memperkenalkan undang-undang yang memberikan hak kepada pemain setelah usia tertentu.
Namun, akibat tumor yang dideritanya, ia harus menjalani berbagai kemoterapi dalam beberapa tahun terakhir. Sakit yang beruntun menjadikannya kesulitan berjalan, membuatnya menjadi depresi.
Nampaknya dunia begitu kehilangan. Pada 29 Desember 2022, sang legenda sepak bola dunia harus berpulang. Tetapi bagi sepak bola, namanya akan selalu ada sebagai pemain terbaik yang pernah ada di muka bumi.
Source | : | Aljazeera |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR