Nationalgeographic.co.id—Tahun 2015, 196 berbagai negara di seluruh dunia tergabung dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) di Paris, Prancis. Lewat konferensi itu, negara-negara dunia sepakat untuk membatasi temperatur hingga 1,5 derajat celsius menjelang pertengahan abad ini, supaya mengurangi risiko perubahan iklim.
Akan tetapi, sampai hari ini, beberapa negara lalai ada juga yang gencar-gencarnya melakukan dekarbonisasi. Padahal, perubahan suhu iklim akan sangat berdampak pada kehidupan berbagai spesies di bumi, termasuk Indonesia sendiri.
"Iklim memengaruhi siklus hidup spesies, jumlah individu suatu spesies, jumlah keseluruhan spesies, serta komposisi dan distribusi spesies di suatu kawasan," kata James Speed, profesor Department of Natural History at the Norwegian University of Science and Technology's (NTNU) University Museum, dikutip dari laman Norwegian SciTech News.
Speed bersama para peneliti di NTNU lainnya mengetahui bagaimana iklim memengaruhi spesies. Jelas, banyak penelitian yang mengungkapkan perubahan tingkah laku, bahkan morfologi dan fisiologinya.
Namun, pemahaman perubahan sering diungkap dalam geografis yang luas, dan mencari jawabannya rentan akan 'jebakan'.
Banyak penelitian yang menggunakan berbagai metode berbeda dalam meneliti perubahan pada spesies. Perbedaan ini membuat sulit untuk dibandingkan secara menyeluruh terhadap ragam spesies. Sehingga, sulit atau tidak mungkin mengukur efek lokal dari perubahan iklim.
Maka, para peneliti menggunakan koleksi lokal terkait spesies di area tertentu bisa dipengaruhi oleh suhu dalam periode waktu yang lebih lama. Koleksi ini menjadi informasi penting bagaimana dunia saat perubahan iklim dan tindakan yang kita pilih punya dampak dari perubahan iklim.
“Kami menggunakan koleksi museum yang telah dibangun selama lebih dari 250 tahun untuk mengukur respons ekologis terhadap perubahan iklim di Norwegia tengah,” kata Speed. “Kami melihat sejumlah spesies, termasuk vertebrata, invertebrata, tanaman, dan jamur.
“Kesamaan data ini dan objek dalam koleksi museum adalah bahwa mempelajari perubahan iklim bukanlah salah satu tujuan mereka saat dikumpulkan. Baru sekarang kami melihat bahwa koleksinya relevan dan kami dapat menggunakannya untuk tujuan seperti itu,” kata Tommy Prestø, pertanggung jawab operasi koleksi botani di Museum Universitas NTNU, dan tidak terlibat langsung dalam penulisan makalah.
Prestø telah menghabiskan banyak waktu untuk membuat koleksi museum supaya bisa diakses lebih luas. Dia mempersilakan tim penelitian Speed untuk meneliti iklim lewat koleksi museum ini. “Sangat menarik untuk dapat menunjukkan bahwa kami dapat menggunakan koleksi museum dengan cara yang baru dan inovatif,” aku Prestø.
Hasilnya, ternyata setiap kenaikan derajat kenaikan suhu punya dampak. Di dunia spesies berukuran kecil, zooplankton berkurang menjadi 7700 individu per meter kubik ketika air dihangatkan satu derajat. Dunia burung, memiliki jumlah yang berkurang untuk bersarang pada dua wilayah perkembangbiakkan per kilometer persegi.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR