“Sutradara Hollywood biasanya menggunakan tiga palet warna dalam film mereka,” kata Milica Pesic, Direktur Eksekutif Media Diversity Institute (MDI) dilansir dari Euronews.
“Amerika Latin, Afrika, atau Asia Selatan biasanya ditutupi palet kuning, negara-negara maju secara ekonomi, seperti AS, berwarna biru, sedangkan abu-abu dicadangkan untuk Eropa Timur, menunjukkan kesuraman, depresi, ketidakbahagiaan,” imbuhnya.
Perbedaan gradasi warna ini langsung disadari oleh banyak orang. Di media sosial seperti Twitter, bertebaran meme terkait perbedaan gradasi warna gambar ketika film Amerika Serikat berlatar di negaranya sendiri, dan negara lain.
Warna pada gambar memberi dampak secara psikologis. “Untuk meninggalkan kesan terbesar pada audiens Anda, gambar Anda tidak hanya akurat, mereka harus mengatakan sesuatu secara emosional. Mereka harus selaras secara kreatif dengan cerita yang Anda ceritakan,” tulis pembuat Noam Kroll di blognya. Kroll adalah seorang sineas yang pernah menyutradarai film "Shadows On The Road" (2018).
Baca Juga: Kapitalisme Pemerintah Hindia Belanda dalam Prosesi Ibadah Haji
Baca Juga: Mengenal Ouija, Permainan Pemanggil Entitas Gaib dalam Film 'Veronica'
Baca Juga: Ternyata, Aplikasi Kencan Daring Dapat Menimbulkan Ketimpangan Ras
Baca Juga: Bias Gender Menghalangi Laki-Laki pada Beberapa Jalur Karier
“Palet warna tertentu menarik pemirsa dan menciptakan rasa nyaman, sementara yang lain mengisolasi pemirsa dan membuat mereka merasa bingung. Sama seperti beberapa menciptakan suasana nostalgia sementara yang lain membangkitkan ketegangan dan ketabahan,” lanjutnya.
Pesic memperingatkan bahwa pemberian gradasi warna pada film jika dilakukan secara berlebihan dalam mencitrakan negara lain, bisa menimbulkan stereotip. Penilaian warna yang ceroboh atau klise membuat hasil film berisi bias pembuat film. Penonton akan menghubungkan tentang suatu daerah dengan emosi yang didapat dari palet warna.
MDI sebagai salah satu lembaga yang mengungkapkan masalah ini berpendapat, mungkin banyak sineas yang menyadari masalah ini. Namun, yang dipermasalahkan oleh Pesic adalah pembuat film yang mengejar hiburan, kerap tidak ingin dimintai pertanggungjawaban terkait bias yang menyebarkan stereotip.
“Mereka peduli dengan cerita dan bagaimana menyampaikan cerita itu kepada pemirsa. Jika cerita itu menumbuhkan citra bahwa seluruh negara itu kotor dan berbahaya, itu dapat merusak tempat itu, bahkan pada tingkat ekonomi,” katanya.
“Mengapa tidak menggambarkan negara sebagaimana adanya?” tanya Pesic. “Mengapa kreativitas berhenti saat melihat kenyataan?”
Source | : | mashable,Euronews |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR