Nationalgeographic.co.id—Di Kekaisaran Tiongkok, kehadiran pemimpin yang cakap sangat penting. Selain harus mengupayakan kesejahteraan rakyat, kaisar Tiongkok juga harus memutar otak untuk melawan musuh. Namun tidak semuanya berhasil menjadi pemimpin yang baik. Seorang ahli waris yang buruk bisa merusak semua pencapaian pendiri dinasti. Berikut lima kaisar Tiongkok terburuk yang mengakhiri kejayaan dinastinya.
Sun Hao (242-284) dari Wu Timur
Alih-alih dinasti kecil, Wu Timur adalah sepertiga dari Tiga Kerajaan.
Sun Hao adalah cucu pendiri dinasti, Sun Quan. “Ia menggantikan pamannya, Kaisar Jing, pada tahun 264,” tulis Jeremiah Jenne di laman The World of Chinese. Ia dipilih menjalankan dinasti dalam menghadapi ancaman serius dari musuh Wu.
Pada awalnya, Sun Hao memenuhi janjinya untuk membuat dinastinya kembali berjaya. Salah satu tindakannya adalah dengan mengurangi pajak dan meningkatkan pembayaran gandum kepada orang miskin.
Sayangnya, Sun Hao juga paranoid dan percaya takhayul. Dia memaksa bibinya, istri mantan kaisar, untuk bunuh diri dan kemudian mengeksekusi sebagian besar sepupunya.
Sang kaisar pun menjadi terobsesi untuk menaklukkan Negara Jin, negara penerus musuh lama Tiga Kerajaan Wu. Militer Wu menjadi sangat berbahaya dan biaya perang Sun Hao menyebabkan pemberontakan.
Akhirnya, Negara Jin membalikkan keadaan dan menaklukkan Wu pada tahun 280 Masehi. Kaisar Jin Sima Yan tidak menyiksa musuh yang berhasil dikalahkannya itu.
Setelah dikalahkan, Sun Hao hidup selama empat tahun sebagai "tamu" pemerintahan Jin di Luoyang. Namun di saat yang sama, Wu Timur sudah berakhir.
Di Xin (1075-1046 Sebelum Masehi) dari Kerajaan Shang
Danau anggur dan wanita penghibur, Kaisar Di Xin memiliki semuanya.
Sejarawan era Han Sima Qian menggambarkan kaisar Di Xin sebagai salah satu tiran paling jahat dalam sejarah. Istri Di Xin, Daji, juga dicap sebagai “titisan iblis” dalam sejarah. Konon, ia suka menyaksikan proses penyiksaan musuhnya. Saat itu, tawanan diikat dalam pilar logam panas dan disiksa.
Dalam sejarah yang ditulis, Daji-lah yang paling disalahkan karena telah mengubah Di Xin menjadi tiran.
Kaisar Di Xin dikenal sebagai pemimpin yang gemar berpesta pora. Ia membuat kolam anggur di mana ia bisa mendayung sampan di saat rakyat kelaparan. Sudah bisa dipastikan, Di Xin bukanlah kaisar favorit rakyat Tiongkok di masa itu.
Pada akhirnya, kekaisaran direbut dari Di Xin. Ketika pasukan Zhou menaklukkan dinastinya, Alih-alih menghadapi musuh, Di Xin membakar istananya dan bunuh diri pada 1046 Sebelum Masehi.
Sui Yangdi (569-618) dari Dinasti Sui
“Dinasti Sui hanya memiliki dua kaisar,” kata Jenne. Kaisar pendiri, Sui Wendi (541-604), adalah penguasa energik yang pernah dimiliki oleh Kekaisaran Tiongkok.
Dia menyatukan dataran tengah setelah hampir tiga abad terpecah. Kemudian, Wendi mendorong batas kekaisarannya hingga ke luar. Serangkaian kampanye ini kemudian dilanjutkan oleh putranya, Sui Yangdi. Namun tidak seperti ayahnya, ia menjadi sangat terobsesi dengan serangan militer dan perluasan wilayah.
Yangdi menindaklanjuti invasi ke Vietnam pada tahun 602 dengan serangkaian aksi yang tidak tepat. Saat itu, sang kaisar berniat untuk menaklukkan Kerajaan Goguryeo di semenanjung Korea. Rupanya, invasi ini membuat kekaisaran bangkrut.
Yangdi membayar perangnya dengan kenaikan pajak dan wajib militer dan ini menyebabkan kerusuhan sipil di seluruh kekaisaran.
Sebagai kaisar, Yangdi juga sangat menyukai wanita. Istananya memiliki lusinan kamar, masing-masing ditempati oleh selir cantik untuk kesenangan dan kenyamanan kaisar.
Sui Yangdi terbunuh dalam kudeta militer pada tahun 618. Meskipun dia adalah seorang penguasa yang mengerikan, Sui Yangdi memiliki prestasi yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Kaisar kedua dari Dinasti Sui ini membangun Kanal Besar. Kanal ini kelak menjadi fondasi bagi kesuksesan Dinasti Tang.
Raja Jie (1728-1675 Sebelum Masehi) dari Kerajaan Xia
Sangat mudah untuk memasukkan Raja Jie ke dalam daftar Kaisar Tiongkok terburuk. Ia kejam, pilih kasih, temperamental, dan berubah-ubah.
Dia terkenal memiliki danau alkohol, bukan anggur tapi alkohol murni. Para abdi dalem pun diajaknya untuk bersulang dan mereka semua tewas mengenaskan.
Raja Jie menyukai pesta pora. Dia juga terkenal suka memerintahkan anggota dewan tingginya untuk membiarkannya bermain kuda di punggung mereka. Para pejabatnya memiliki dua pilihan: memberikan tumpangan kepada raja atau dieksekusi dengan cara kreatif sang raja.
Baca Juga: Kisah Kaisar Tiongkok Fu Sheng, Tiran Bermata Satu nan Kejam
Baca Juga: Yuan, Kaisar Tiongkok Buat Kerajaannya Hancur Akibat Terlalu Baik
Baca Juga: Sejarah Panjang Tembok Besar Tiongkok, Siapa Kaisar yang Membangunnya?
Baca Juga: Aturan Aneh yang Dibuat oleh Kaisar Tiongkok untuk Menjaga Ketertiban
Pada tahun terakhir masa pemerintahan Jie, pasukannya dikalahkan oleh kekuatan peradaban saingan, Kerajaan Shang. Kerajaan Shang kemudian menguasai lembah Sungai Kuning hingga masa pemerintahan Yin Dai pada abad ke-11 Sebelum Masehi.
Kaisar Duzong (1240-1274) dari Dinasti Song
Duzong menghabiskan sebagian besar waktunya untuk minum dan berhubungan dengan sejumlah besar wanita.
Saat Duzong berkuasa, bangsa Mongol berkomitmen untuk menaklukkan wilayah Song. Pada tahun 1274, tentara Kubilai Khan merebut benteng utama Xiangyang. “Ini membuka jalan bagi invasi darat dan laut ke jantung Song Selatan,” tambah Jenner. Kaisar Duzong meninggal segera setelah itu.
Duzong bukan kaisar terakhir Song. Ia memiliki tiga putra yang umurnya tidak lebih dari sembilan tahun. Mereka secara bergantian memimpin. Dinasti Song berakhir lima tahun saat Perdana Menteri Liu Xiufu melompat ke laut bersama putra Duzong, Zhao Bing.
Kaisar yang buruk tidak serta merta menjatuhkan dinasti. Di masa-masa yang lebih baik, para pejabat kekaisaran dapat bertindak untuk membatasi kecenderungan tirani penguasa. Pejabat yang baik juga menjadi penyangga antara keputusan yang buruk dan rakyat. Namun dalam kasus lima kaisar Tiongkok terburuk di atas, bahkan pejabat yang ada pun tidak bisa menghalangi kejatuhan dinasti mereka.
Source | : | The World of Chinese |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR