"Kuncinya adalah saat ada lebih banyak karbon dioksida di atmosfer dan planet menjadi lebih panas, pelapukan berlangsung lebih cepat dan menarik lebih banyak karbon dioksida. Dan saat planet lebih dingin, pelapukan melambat," tambahnya.
Tetapi masih banyak yang tidak diketahui tentang seberapa sensitif pelapukan terhadap perubahan suhu, sebagian karena skala spasial dan waktu yang panjang.
Brantley mengatakan bidang sains zona kritis yang meneliti lanskap dari vegetasi tertinggi hingga air tanah terdalam telah membantu para ilmuwan lebih memahami interaksi kompleks yang memengaruhi pelapukan.
Baca Juga: Perubahan Iklim: Mana yang Benar? Pendinginan atau Pemanasan Global?
Baca Juga: Bagaimana Perubahan Iklim Memengaruhi Banyak Hal dalam Kehidupan Kita?
Baca Juga: Bukan Cuma Siklus Alami, Manusia Memang Penyebab Perubahan Iklim
Baca Juga: Tanda Bahaya, Pelangi Akan Lebih Sering Muncul akibat Perubahan Iklim
Misalnya, batuan harus retak agar air masuk ke dalam retakan dan mulai memecah material. Agar hal itu terjadi, batuan harus memiliki area permukaan yang luas dan terbuka, dan hal itu kecil kemungkinannya terjadi di area yang tanahnya lebih dalam.
"Hanya ketika Anda mulai melintasi skala spasial dan waktu, Anda mulai melihat apa yang benar-benar penting," kata Brantley. "Luas permukaan sangat penting. Anda dapat mengukur semua konstanta laju yang Anda inginkan untuk solusi itu di lab, tetapi sampai Anda dapat memberi tahu saya bagaimana luas permukaan terbentuk di sistem alami, Anda tidak akan pernah bisa memprediksi sistem yang sebenarnya."
Para ilmuwan melaporkan hasil studi ini dalam jurnal Science pada 26 Januari 2023 dengan judul “How temperature-dependent silicate weathering acts as Earth’s geological thermostat.”
Pengukuran sensitivitas suhu di laboratorium lebih rendah dari perkiraan tanah dan sungai dalam studi mereka. Dengan menggunakan pengamatan dari lab dan situs lapangan, mereka meningkatkan temuan mereka untuk memperkirakan ketergantungan suhu global dari pelapukan.
National Geographic Indonesia dan Majalah Bobo Gelar Sekolah Konservasi di Lereng Gunung Muria
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR