Nationalgeographic.co.id—Biasanya, bagi para peneliti konservasi untuk mengetahui informasi genetik satwa liar adalah dengan mengambil sampel. Pengambilan sampel dari satwa kerap mengganggu atau membahayakan keselamatan mereka.
Baru-baru ini, sekelompok peneliti mencoba metode baru untuk melihat informasi genetika satwa. Pencobaan ini dilakukan pada kotoran gajah, sampel yang menghasilkan DNA yang cukup untuk mengurutkan seluruh genomnya, termasuk mikroba, tanaman, parasit, dan organisme lain yang terkandung di dalammnya. Cara ini dinilai lebih murah dari segi biaya, dan lebih aman pada satwa.
Sebenarnya metode mengumpulkan DNA dari kotoran gajah bukanlah hal baru, terang rekan peneliti Alfred Roca. “Sampel feses gajah telah digunakan selama puluhan tahun untuk mempelajari genetika gajah,” lanjutnya di Eurekalert.
Roca menegaskan, metode pengambilan informasi genom dari kotoran gajah sangat rumit, tergantung metodenya, sehingga "seringkali melibatkan bahan kimia yang dalam beberapa kasus bisa berbahaya. Koleksinya besar, sulit dikirim dan harus didinginkan, membuat seluruh proses menjadi sangat mahal."
Roca sendiri adalah ahli genomik di University of Illinois at Urbana-Champaign, AS. Dia bersama pemimpin penelitian dari pascadoktoral di universitas yang sama, Alida de Flamingh, menguji cara yang relatif lebih murah dan sederhana.
Caranya, menggunakan kartu pengumpulan data seukuran kartu pos yang dapat mencegah penurunan kualitas sampel. Sebelumnya uji coba seperti ini pernah dilakukan, dan terbukti sampel feses gajah pada kartu bisa bertahan lama pada kartu tanpa penyimpanan pendingin.
"Kami menggunakan metodologi yang ada sedemikian rupa sehingga kami sekarang menggunakan sampel non-invasif untuk menghasilkan data berskala genom," kata peneliti pascadoktoral University of Illinois Urbana-Champaign, Alida de Flamingh. Dia menjadi peneliti utama dalam proyek ini.
"Cara ini memungkinkan kita untuk menilai populasi satwa liar tanpa harus mengejar, menangkap, atau melumpuhkan hewan," Flamingh berpendapat. Laporan mereka dipublikasikan di jurnal Frontiers in Genetics pada 12 Januari 2023, bertajuk "Combining methods for non-invasive fecal DNA enables whole genome and metagenomic analyses in wildlife biology".
Agar mendapatkan sampel kotoran gajah, para peneliti mengumpulkannya dari kebun binatang dalam eksperimen yang dirancang. Mereka menentukan berapa lama setelah buang air besar, kotoran bisa menghasilkan data genomik yang layak.
Kebun binatang Jacksonville Zoo and Gardens di Florida dan Dallas Zoological Garden bersedia membantu mereka. Di sini, gajah sabana Afrika berada. Para peneliti mengambil sampel segera setelah gajah-gajah itu buang air besar. Pengambilan sampel itu diambil selama beberapa hari berikutnya.
Sampel kotoran gajah kemudian diuji. Para peneliti membandingkan hasil lainnya dari gajah sabana Afrika yang telah dikumpulkan lewat kartu. Kartu-kartu itu dipakai untuk mengumpulkan sampel kotoran gajah setelah diidentifikasi lewat serangkaian area liar yang beragam secara geografis dan ekologis di Afrika Selatan.
"Saya terkejut" kata Roca ketika mendapatkan hasilnya. Dengan menjalankan urutan data yang diperoleh dari kartu melalui basis data genomik, tim menemukan informasi genomik di dalam kotoran.
"Awalnya saya pikir kami mungkin mendapatkan DNA gajah dari kartu, tetapi saya hanya memperkirakan 2 persen (saja)," lanjutnya. "Namun, rata-rata, lebih dari 12 persen DNA berkaitan dengan gajah."
Tim berhasil mendapatkan sampel data yang lebih banyak tentang gajah, seperti komposisi mikroba ususnya, habitatnya, dan pola makannya. Dari pengamatan bahkan terdeteksi DNA kupu-kupu dan antropoda lain yang berinteraksi dengan kotoran tersebut setelah disimpan.
Baca Juga: Dunia Hewan: Jika Gajah Punah, Tingkat Karbon di Atmosfer Akan Tinggi
Baca Juga: Ditakuti Gajah, Pasukan Romawi Kuno Menggunakan Babi untuk Berperang
Baca Juga: Dunia Hewan: Gajah Hidup Lebih Bernilai Berkali Lipat Ketimbang Mati
Baca Juga: Dunia Hewan: Gajah Asia Malah Menyukai Habitat di Tepi Kawasan Lindung
Oleh karena itu, para peneliti berani mengklaim hasil ini lebih murah dibandingkan dengan metode laboratorium yang hanya menargetkan DNA gajah. Roca menambahkan, penelitian ini juga sebanding dengan yang diperoleh jika hanya mengambil sampel gajah.
“Anda bisa mengeksplorasi konektivitas populasi gajah yang berbeda, tingkat keragaman genetik, tingkat perkawinan sedarah dan keterkaitan antar gajah,” ungkap Roca. “Dan menurut saya ada banyak alasan mengapa Anda tidak ingin mengumpulkan sampel darah dari gajah liar.”
“Sangat bermanfaat untuk mendapatkan ide tentang semua yang ada di sana (kotoran gajah) karena sekarang Anda dapat mulai mengajukan pertanyaan, tidak hanya tentang genom gajah tetapi juga tentang hal-hal seperti kesehatan mereka, pola makan mereka dan apakah ada patogen atau parasit,” kata de Flamingh.
Memang ada banyak yang bisa para peneliti lakukan jika mendapatkan sampel darah gajah. Namun, Flamingh menjelaskan, hasil analisis dari kotoran gajah bisa membuat para peneliti dapat melakukan analisis yang tidak bisa diungkap dengan DNA darah."
Ide menggunakan kotoran gajah sebagai sumber pelacakan genomik datang dari penelitian de Flamingh bersama rekan penelitian terbaru ini, Ripan Malhi. Malhi sendiri adalah profesor antropologi yang berfokus pada DNA purba.
DNA purba dan DNA kotoran gajah punya tantangan yang mirip. "DNA purba dapat menimbulkan masalah karena sampel terdegradasi dan dapat menghasilkan tingkat DNA spesies target yang sangat rendah," urai de Flamingh. Sementara konsentrasi DNA gajah dari kotorannya lebih rendah daripada yang tersedia dari sampel darah.
"Saya kira, ini terdengar seperti kesempatan bagus untuk menguji apakah metodologi yang sama dapat diterapkan pada sampel non-invasif untuk menghasilkan jenis data yang sama," terangnya.
Source | : | eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR