Bagaimanapun, sebagaimana yang dicatat Drake, pasti ada yang kontra terhadap era Kekaisaran Ottoman. Era kekaisaran ini telah meninggalkan celah-celah yang jelas dalam kisahnya yang cemerlang: genosida Armenia, perbudakan bagi ekonomi, hingga cengkeraman yang dapat dipaksakan oleh elite atas kepemilikan tanah.
Darke telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, bagaimanapun, dalam menampilkan yang terbaik dari warisan budaya Kekaisaran Ottoman ini.
Erdoğan kemungkinan akan menyambut perspektif ini, tulis Ryan Gingeras dalam The Last Days of the Ottoman Empire. Buku Gingeras ubu tidak memihak dan diteliti dengan baik.
Presiden Turki melihat kejatuhan Ottoman sebagai "bencana moral dan politik" yang masih bergema hingga saat ini. Dia menggambarkan percobaan kudeta tahun 2016 sebagai "upaya baru untuk menduduki bagian terakhir dari tanah kami, yang menyusut menjadi seperlima [dari ukurannya] dalam periode singkat dari tahun 1912 hingga 1923".
Erdoğan juga berbicara tentang keberhasilan negara Utsmaniyah. Bukan soal kegagalan, pertumpahan darah, kerumitan, dan inefisiensinya.
Gingeras, seorang profesor di Naval Postgraduate School, California, dan penulis beberapa buku tentang Turki, tidak memberikan pandangan yang luas dan megah selama berabad-abad.
Fokusnya adalah pada saat-saat penutupan kerajaan. Dia menguraikan kisah kemunduran yang berputar-putar hingga akhir abad ke-19. Ini adalah masa ketika kelumpuhan menguasai aparatur pemerintah dan upaya berulang kali untuk melakukan reformasi terbukti tidak efektif, bahkan kontra-produktif.
Itu membantu menciptakan siklus fajar palsu dan menghancurkan harapan. Kegembiraan dan keputusasaan selalu menjadi teman sekamar, paling tidak selama perang dunia pertama, ketika serangan balik pasukan Sekutu di Gallipoli satu menit kemudian diredam oleh berita bencana dari Kaukasus dan sebagainya.
Ini adalah masa, catat Gingeras, tentang "pergeseran demografis yang liar" yang memiliki "konsekuensi nyata". Lebih dari 1,4 juta pengungsi dari perang saudara Rusia melewati tanah Ottoman, selain hampir setengah juta pengungsi dari Balkan dalam dekade setelah 1912.
Lalu, tentu saja, ada migrasi besar-besaran penduduk Yunani di Anatolia yang terlacak akarnya kembali ke zaman kuno yang dipaksa keluar dari apa yang menjadi Turki pada tahun 1922.
Begitulah kepedihan kematian dari kerajaan yang terurai. Bagi banyak pengamat luar, ini merupakan perkembangan akhir yang jelas bagi apa yang disebut "pesakitan Eropa".
Beberapa orang lokal mengambil pandangan serupa. Mustafa Kemal Atatürk, bapak Turki modern, menolak gagasan tentang "zaman keemasan" dunia Ottoman. Dia menilai sultan Ottoman mendikte kebijakan berdasarkan "perasaan dan keinginan", ketimbang melakukan apa yang benar untuk negara atau rakyatnya.
“Tuan-tuan,” katanya dalam pidatonya di Izmit pada tahun 1923, “jika kita mencari alasan untuk kondisi [yang] menyedihkan, kesengsaraan yang menimpa bangsa ini, kita menemukannya langsung dalam konsep negara [Ottoman].” Yang dibutuhkan, katanya, adalah reformasi dari atas ke bawah, berdasarkan modernisasi, pembebasan dan liberalisasi.
Pesan kuat itu adalah salah satu alasan mengapa kecermelangan nama Atatürk jatuh dalam beberapa tahun terakhir. Erdoğan menjadi sangat ambivalen atau bertentangan dalam pandangannya tentang pendahulunya. Erdogan justru menjadi lebih percaya diri tentang peran Turki di dunia.
Entah apa yang Erdogan bayangkan saat ini dengan Turki modern. Yang jelas, dulu area Kekaisaran Ottoman pernah mencapai sepertiga wilayah dunia. Termasuk wilayah Libya dan Somalia, misalnya, dan seluruh Asia Tengah beserta Timur Tengah dan Teluk Persia.
Itu mungkin warisan Utsmaniyah yang paling jelas di dunia saat ini: bukan masa lalu, kejayaan dan kerumitannya, melainkan jejak geografis dan budaya yang ditinggalkan oleh Utsmaniyah yang ingin diinjak kembali oleh Turki modern.
Ottoman memiliki banyak hal untuk mereka, tulis Darke, "termasuk ketangguhan jiwa mereka dan inklusivitas semangat komersial mereka."
Osman konon memimpikan sebatang pohon yang tumbuh dari pusarnya hingga menutupi bumi. Dari biji pohon ek seperti itu tumbuhlah kerajaan; setidaknya begitulah teorinya. Siapa yang tahu apa yang diimpikan oleh Presiden Erdoğan akhir-akhir ini?
Source | : | Financial Times |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR