Nationalgeographic.co.id—Seratus tahun lalu, Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah menyelinap ke dalam kabut sejarah. Dunia perkasa yang telah bertahan selama berabad-abad dan mengangkangi tiga benua itu telah mencapai ujung jalan, lenyap pada 1 November 1922.
Kematiannya lama, lambat, dan menyakitkan. Memang, bagi beberapa sarjana, seperti yang diingatkan oleh Ryan Gingeras dalam buku The Last Days of the Ottoman Empire, keruntuhan kekaisaran itu “dimulai dengan kekalahannya di hadapan Wina pada tahun 1683”.
Selama abad terakhir ini, banyak yang telah dilupakan tentang dinasti berusia 600 tahun yang didirikan oleh sosok semi-mitos Osman. Osman adalah penguasa akhir abad ke-13 yang keturunannya mengukir sebuah kerajaan di Anatolia.
Pada satu titik, wilayah kerajaan atau kekaisaran ini peran membentang dari gerbang ibu kota Austria ke ujung selatan semenanjung Arab, dan dari Mesopotamia ke Afrika utara dan pinggiran Sahara.
Inilah saatnya untuk “mengembuskan kehidupan baru ke dalam subjek yang sering dianggap relatif tidak jelas," tulis Gingeras. Sebab, kejatuhan Kekaisaran Ottoman “bukan hanya cerita Turki, juga bukan satu-satunya hubungan erat dengan tanah yang pernah dikuasainya.”
Sebaliknya, katanya, "itu merangkum momen penting dalam pembuatan urusan internasional modern, yang masih bergema di berita utama hari ini."
Diana Darke, penulis buku The Ottomans, juga sependapat. Dalam buku itu dia juga mulai menginformasikan dan merevisi opini umum yang berkembang.
Dalam buku yang diilustrasikan dengan indah itu, Darke, seorang spesialis dalam sejarah dan budaya Timur Tengah, berusaha mengingatkan kita tentang kejayaan, kemenangan, dan kesuksesan kekaisaran yang pernah menjadi salah satu kerajaan terbesar di dunia.
Diana Darke banyak memuji masa Kekaisaran Ottoman dalam buku tersebut. Selain Darke, banyak orang lainnya, terutama Muslim, juga mengagumi era kejayaan kekaisaran itu dan ingin kembali ke masa tersebut.
Darke tidak terlalu berlebihan dalam pujiannya untuk Ottoman. Dia secara teratur menggunakan contoh-contoh Eropa sebagai titik referensi.
Utsmaniyah melindungi umat Ortodoks setelah mereka merebut Konstantinopel pada tahun 1453. Ini sangat kontras dengan umat Katolik Latin, yang memperlakukan sesama umat Kristen dengan “kefanatikan dan penganiayaan”.
Sementara Ottoman menyambut pengungsi, "orang-orang Eropa memiliki kecenderungan untuk mengusir komunitas" atas dasar ras.
Perbandingan lainnya, orang-orang Eropa masih mencemaskan “hak asasi manusia", sedangkan "Ottoman telah mendirikan rumah sakit untuk burung yang bermigrasi, merawat sayap yang patah,” tulis Darke seperti dikutip Financial Times.
Komentar pujian Darke, bagaimanapun, akan disambut di beberapa bagian Turki kontemporer. Di wilayah tersebut nostalgia untuk Ottoman meluas tidak hanya ke serial TV tetapi ke debat politik arus utama yang membingkai akhir kekaisaran sebagai bencana yang diatur oleh kekuatan jahat dari jauh.
Telah ada pembicaraan untuk menarik "neo-Ottomanisme" dalam kebijakan luar negeri sebagai cara untuk memulihkan prestise Turki dan orang-orang Turki. Paham ini juga sebagai penyeimbang kekurangan yang dirasakan dari kebijakan AS dan Barat di Timur Tengah.
Ini cocok dengan koktail nostalgia dan imperialisme yang juga bercampur di tempat lain. Terutama bagi mereka yang merupakan pewaris kerajaan yang runtuh.
Baca Juga: Dua Abad Sebelum Berakhir, Kekaisaran Ottoman Dijuluki Pesakitan Eropa
Baca Juga: Penyebab Mengapa Kekaisaran Ottoman Akhirnya Tersingkir dari Eropa
Baca Juga: Disebut Kiamat Sugra, Dahsyatnya Gempa 1509 di Era Kekaisaran Ottoman
Paralel yang paling jelas, tentu saja, adalah Rusia. Di negara itu Vladimir Putin adalah pemandu sorak dari paduan suara yang menuntut pemulihan kejayaan masa lalu dan penyatuan kembali orang-orang yang pernah tunduk dalam Uni Soviet yang kini telah pecah menjadi banyak negara.
Hal serupa sedang terjadi di Turki era Recep Tayyip Erdoğan. Di era kekuasaan Erdogan, Kekaisaran Ottoman dilihat melalui kacamata berwarna paling cerah, sebagai entitas ramah yang membawa perdamaian dan harmoni bagi semua warganya.
Maka, akan membantu untuk mengidentifikasi bagaimana zaman keemasan mitos ini berakhir. Dan di Turki, seperti di Rusia, defaultnya adalah menyalahkan orang lain.
Dengan demikian, argumen Darke bahwa efek melumpuhkan ekonomi dari tekstil Inggris murah yang diimpor atau tekanan yang diterapkan oleh "agenda kekaisaran" Rusia tidak merevisi opini sejarah yang sudah mapan.
Namun, itu membantu membuat sketsa narasi yang dekat dengan apa yang telah digunakan Erdogan dan sekutunya dengan frekuensi yang meningkat selama satu dekade atau lebih.
Bagaimanapun, sebagaimana yang dicatat Drake, pasti ada yang kontra terhadap era Kekaisaran Ottoman. Era kekaisaran ini telah meninggalkan celah-celah yang jelas dalam kisahnya yang cemerlang: genosida Armenia, perbudakan bagi ekonomi, hingga cengkeraman yang dapat dipaksakan oleh elite atas kepemilikan tanah.
Darke telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, bagaimanapun, dalam menampilkan yang terbaik dari warisan budaya Kekaisaran Ottoman ini.
Erdoğan kemungkinan akan menyambut perspektif ini, tulis Ryan Gingeras dalam The Last Days of the Ottoman Empire. Buku Gingeras ubu tidak memihak dan diteliti dengan baik.
Presiden Turki melihat kejatuhan Ottoman sebagai "bencana moral dan politik" yang masih bergema hingga saat ini. Dia menggambarkan percobaan kudeta tahun 2016 sebagai "upaya baru untuk menduduki bagian terakhir dari tanah kami, yang menyusut menjadi seperlima [dari ukurannya] dalam periode singkat dari tahun 1912 hingga 1923".
Erdoğan juga berbicara tentang keberhasilan negara Utsmaniyah. Bukan soal kegagalan, pertumpahan darah, kerumitan, dan inefisiensinya.
Gingeras, seorang profesor di Naval Postgraduate School, California, dan penulis beberapa buku tentang Turki, tidak memberikan pandangan yang luas dan megah selama berabad-abad.
Fokusnya adalah pada saat-saat penutupan kerajaan. Dia menguraikan kisah kemunduran yang berputar-putar hingga akhir abad ke-19. Ini adalah masa ketika kelumpuhan menguasai aparatur pemerintah dan upaya berulang kali untuk melakukan reformasi terbukti tidak efektif, bahkan kontra-produktif.
Itu membantu menciptakan siklus fajar palsu dan menghancurkan harapan. Kegembiraan dan keputusasaan selalu menjadi teman sekamar, paling tidak selama perang dunia pertama, ketika serangan balik pasukan Sekutu di Gallipoli satu menit kemudian diredam oleh berita bencana dari Kaukasus dan sebagainya.
Ini adalah masa, catat Gingeras, tentang "pergeseran demografis yang liar" yang memiliki "konsekuensi nyata". Lebih dari 1,4 juta pengungsi dari perang saudara Rusia melewati tanah Ottoman, selain hampir setengah juta pengungsi dari Balkan dalam dekade setelah 1912.
Lalu, tentu saja, ada migrasi besar-besaran penduduk Yunani di Anatolia yang terlacak akarnya kembali ke zaman kuno yang dipaksa keluar dari apa yang menjadi Turki pada tahun 1922.
Begitulah kepedihan kematian dari kerajaan yang terurai. Bagi banyak pengamat luar, ini merupakan perkembangan akhir yang jelas bagi apa yang disebut "pesakitan Eropa".
Beberapa orang lokal mengambil pandangan serupa. Mustafa Kemal Atatürk, bapak Turki modern, menolak gagasan tentang "zaman keemasan" dunia Ottoman. Dia menilai sultan Ottoman mendikte kebijakan berdasarkan "perasaan dan keinginan", ketimbang melakukan apa yang benar untuk negara atau rakyatnya.
“Tuan-tuan,” katanya dalam pidatonya di Izmit pada tahun 1923, “jika kita mencari alasan untuk kondisi [yang] menyedihkan, kesengsaraan yang menimpa bangsa ini, kita menemukannya langsung dalam konsep negara [Ottoman].” Yang dibutuhkan, katanya, adalah reformasi dari atas ke bawah, berdasarkan modernisasi, pembebasan dan liberalisasi.
Pesan kuat itu adalah salah satu alasan mengapa kecermelangan nama Atatürk jatuh dalam beberapa tahun terakhir. Erdoğan menjadi sangat ambivalen atau bertentangan dalam pandangannya tentang pendahulunya. Erdogan justru menjadi lebih percaya diri tentang peran Turki di dunia.
Entah apa yang Erdogan bayangkan saat ini dengan Turki modern. Yang jelas, dulu area Kekaisaran Ottoman pernah mencapai sepertiga wilayah dunia. Termasuk wilayah Libya dan Somalia, misalnya, dan seluruh Asia Tengah beserta Timur Tengah dan Teluk Persia.
Itu mungkin warisan Utsmaniyah yang paling jelas di dunia saat ini: bukan masa lalu, kejayaan dan kerumitannya, melainkan jejak geografis dan budaya yang ditinggalkan oleh Utsmaniyah yang ingin diinjak kembali oleh Turki modern.
Ottoman memiliki banyak hal untuk mereka, tulis Darke, "termasuk ketangguhan jiwa mereka dan inklusivitas semangat komersial mereka."
Osman konon memimpikan sebatang pohon yang tumbuh dari pusarnya hingga menutupi bumi. Dari biji pohon ek seperti itu tumbuhlah kerajaan; setidaknya begitulah teorinya. Siapa yang tahu apa yang diimpikan oleh Presiden Erdoğan akhir-akhir ini?
Source | : | Financial Times |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR