Nationalgeographic.co.id—Sekitar 220 Masehi, Dinasti Han dari Kekaisaran Tiongkok mulai mengalami penurunan. Di masa itu, seorang kaisar boneka diangkat. Dikenal sebagai Kaisar Xian, Liu Xie tidak memiliki banyak kuasa. Meski begitu, kaisar Tiongkok terakhir di Dinasti Han itu berjuang untuk kekaisaran. Kisahnya bisa disimak di sini.
Konflik di antara kekuatan-kekuatan besar
Setelah Liu Xie lahir, ibunya diracun sampai mati oleh ratu karena cemburu. Oleh karena itu, dia dibesarkan oleh neneknya, Ibu Suri Dong.
Liu Xie adalah putra kedua Liu Hong (Kaisar Ling dari Dinasti Han). Dilansir dari laman China Fetching, kekaisaran dikendalikan oleh kasim dan panglima perang yang kuat di masa pemerintahan Liu Hong. Tidak hanya itu, pemberontakan pun kerap bermunculan.
Setelah Liu Hong meninggal dunia, putra sulungnya Liu Bian (176—190) naik tahta. Pada saat itu, para kasim dan pejabat sipil berperang semakin intensif. Banyak panglima perang yang memperoleh angkatan bersenjata yang mandiri.
Untuk merebut takhta, paman kaisar berencana untuk memanggil panglima perang ke ibu kota dan membunuh kaisar serta pewarisnya. Mendengar hal itu, beberapa kasim menculik Kaisar Liu Bian dan Liu Xie dan melarikan diri.
Ketika Liu Bian dan Liu Xie akhirnya diselamatkan oleh pejabat yang setia dan kembali ke istana. DI sana, mereka bertemu dengan Dong Zhuo, panglima perang yang dipanggil untuk menghancurkan kelompok kasim.
Para kasim tersingkir. Sedangkan Panglima Perang Dong Zhuo, seorang jenderal yang kuat dengan pasukan pribadi yang besar, tetap tinggal di ibu kota.
Dinasti Han mulai melemah
Penurunan dinasti dapat terjadi sejak masa pemerintahan Hedi (88–105/106). “Saat itu istana berada di bawah pengaruh keluarga selir dan kasim,” tulis Jack L. Dull di laman Britannica.
Suksesi kaisar menjadi masalah manipulasi cekatan yang dirancang untuk menjaga keuntungan pihak yang berkepentingan. Buktinya adalah dari 14 kaisar Dong Han (Dinasti Han Timur), tidak kurang dari 8 anak laki-laki naik takhta. Mereka berusia antara 100 hari dan 15 tahun.
Para permaisuri, kasim, selir dan keluarganya cenderung menempatkan kepentingan mereka sendiri di atas kepentingan kekaisaran.
Kaisar boneka dari dinasti yang mulai jatuh
Ketika Dong Zhuo menghadapi Liu Bian dan Liu Xie dalam kekacauan, semua orang ketakutan oleh pasukan besar Dong. Kaisar Liu Bian terlalu gugup untuk berbicara dengan jelas. Berbeda dengan sang kakak, Liu Xie yang berusia 8 tahun cukup berani, cerdas, dan bermartabat.
Yang terpenting, Liu Xie tidak memiliki ibu atau klan yang kuat untuk mendukungnya. Oleh karena itu, Dong Zhuo menghapus Liu Bian dan mendukung Liu Xie sebagai kaisar baru. Belakangan, Liu Bian dan seluruh klan ibunya dibunuh oleh Dong Zhuo.
Liu Xie diangkat menjadi Kaisar Xian. Sayangnya, kaisar muda itu menjadi ‘boneka’ Dong Zhuo yang sesungguhnya berkuasa.
Dong Zhuo dan tentaranya semuanya kejam dan serakah. Mereka membakar kota Luoyang yang makmur di Kekaisaran Han, merampok harta dan wanita dalam jumlah besar. Seakan masih belum cukup brutal. Dong memaksa Kaisar Xian dan seluruh keluarga kerajaan untuk pindah dari kota ini.
Segera, banyak panglima perang lainnya bersatu, mencoba untuk membunuh Dong Zhuo.
Wanita cantik dijadikan mata-mata
Wang Yun (137 — 192), seorang pejabat sipil yang setia kepada Kaisar Xian, melatih seorang mata-mata yang cantik. Ia menawarkannya kepada Dong Zhuo dan putra angkatnya yang kuat Lü Bu.
Jebakan manis itu bernama Diao Chan, salah satu dari empat wanita cantik dalam sejarah Tiongkok. Terpukau akan kecantikannya, kedua pria kuat itu menginginkan Diao Chan. Namun akhirnya Dong Zhoulah yang berhasil.
Di sisi lain, Wang Yung menghasut Lü Bu. Ia menjadi murka dan kemudian membunuh Dong Zhuo. Marah karena pemimpinnya dibunuh akibat hasutan, para pengikut Dong Zhuo terus menyerbu kota tempat tinggal Kaisar Xian.
Wang Yun berkorban untuk melindungi kaisar, Lü Bu kalah dalam pertempuran dan melarikan diri. Namun Kaisar Xian berhasil ditawan. Selama periode ini, sebagai kaisar boneka, dia masih menggunakan kekuatannya yang terbatas untuk meringankan penderitaan rakyat. Di tengah bencana alam, kaisar berhasil menyelamatkan banyak nyawa.
Beberapa bulan kemudian, dilindungi oleh beberapa jenderal yang setia, Kaisar Xian akhirnya kabur dari kota. Ketika mereka menderita kelaparan dan bahaya, mereka bertemu dengan seorang panglima perang Cao Cao (155-220).
Cao Cao menghormati Liu Xie sebagai kaisar dan melindunginya untuk kembali ke istananya. “Cao Cao adalah jenderal besar Han yang menguasai utara,” tambah Dull.
Kaisar Xian dari Han yang berusia 15 tahun, yang telah mengalami banyak krisis hidup dan mati. Saat kembali ke istana, semua akhirnya stabil. Namun, ia masih tidak memiliki kekuatan militer.
Perjuangan terakhir Kaisar Xian
Saat itu, panglima perang yang kuat telah memecah belah dan menduduki negara. Memiliki Kaisar Xian di tangannya membuat Cao Cao menjadi kekuatan paling ortodoks saat itu.
Segera, Cao memaksa kaisar untuk mengubah ibu kotanya dan memerintahkan semua pasukan, termasuk pasukan pemberontak, untuk bertekuk lutut.
Setelah migrasi ini, Kaisar Xian menemukan bahwa semua pelayan setianya dibunuh karena berbagai alasan. Pelayan-pelayan itu kemudian digantikan oleh pengikut Cao Cao.
Saat bertambah dewasa, Kaisar Xian mencoba menghubungi beberapa jenderal setia yang mungkin bersedia membantunya mendapatkan kembali kekuasaan. Sayangnya mereka gagal atau tertangkap sebelum memulai tindakan apa pun.
Utusan kaisar, termasuk ratu kesayangannya Fu dan selir dinasti, serta seluruh klan, semuanya dibantai oleh Cao Cao.
Kaisar Xian akhirnya mengundurkan diri dari takhta
Setelah itu, Cao Cao mengirim tiga putrinya ke kaisar dan meminta Liu Xie memilih salah satunya menjadi ratu. Sementara itu, pengawasannya terhadap kaisar menjadi lebih ketat.
Cao Cao adalah seorang politikus, militeris, penyair, dan ahli strategi yang brilian. Dia memerintah kekaisaran dengan baik dan membawa kehidupan yang baik bagi warga sipil.
Kuat, ambisius, dan skeptis, politikus hebat itu tidak ingin berbagi kekuasaan dengan Kaisar Xian. Namun di saat yang sama, ia tidak pernah berencana untuk merebut takhta dari kaisar.
Sepeninggal Cao Cao, ahli warisnya Cao Pi mewarisi gelar dan kekuasaannya.
“Beberapa bulan kemudian, di bawah bujukan dan saran yang tiada henti, Kaisar Xian menyerahkan takhta kepada Cao Pi,” Dull menambahkan lagi.
Cao Pi mengubah nama kekaisaran menjadi Wei. Dia menghormati ayahnya, Cao Cao, sebagai Kaisar Wu dari Wei. Putra Cao Cao itu menjadi Kaisar Wen dari Wei.
Dinasti Han secara resmi berakhir. Setelah itu, dua panglima perang kuat lainnya mengeklaim takhta dan era Tiga Kerajaan pun dimulai.
Apa yang terjadi dengan mantan Kaisar Xian?
Setelah Kaisar Xian terpaksa menyerahkan dinasti yang dimulai oleh leluhurnya, dia diturunkan pangkatnya menjadi Adipati Shanyang.
Bersama istrinya, putri Cao Cao, mereka menjalani kehidupan yang damai selama 14 tahun. Keduanya sangat murah hati dan suka membantu rakyat. Maka tidak heran jika mantan kaisar itu dicintai rakyatnya.
Liu Xie melepaskan segalanya dan memulai kehidupannya yang sederhana sebagai seorang tabib. Ia menggunakan keterampilan medis yang telah dipelajari dari istana sebelumnya.
Paruh pertama kehidupan Liu Xie sebagai Kaisar Xian bergolak dan tragis. Sebagai simbol kekuasaan di mata panglima perang, dia tidak pernah mendapatkan otoritas atau rasa hormat yang sebenarnya.
Baca Juga: Zhang Qian, Diplomat Kekaisaran Tiongkok yang Jadi Pelopor Jalur Sutra
Baca Juga: Wang Mang, Kaisar Tiongkok Dimutilasi Akibat Menyusahkan Rakyat
Baca Juga: Racikan Daun Teh Tertua Sedunia di Makam Zaman Kaisar Tiongkok
Baca Juga: Ketika Ilmu Hitam Menghancurkan Permaisuri Chen dari Tiongkok Kuno
Sebagai seorang kaisar, dia hampir menyaksikan dan mengalami sisi gelap dunia dan kemanusiaan. Saat itu, Liu Xie menyadari betapa Makmur Dinasti Han yang didirikan oleh leluhurnya serta semua pencapaiannya.
Meski sudah berjuang, Liu Xie tidak bisa melawan kekuatan-kekuatan besar yang melingkupi istana. Oleh karena itu, Liu Xie berkompromi. Ia melepaskan singgasana dan segala sesuatu yang menyertainya: persekongkolan, ketegangan, konflik, darah, dan pemberontakan.
Setelah melepaskan takhta, Liu Xie melayani rakyatnya dengan menyembuhkan banyak orang. Sang tabib memberikan pengobatan gratis bagi mereka yang membutuhkan.
Paruh terakhir hidupnya damai, sederhana dan tenang. Ia membantu orang sambil mendapatkan cinta dan rasa hormat yang tulus. Ini sangat berlawanan dengan apa yang dialaminya saat masih di istana.
Liu Xie meninggal dengan damai ketika dia sudah tua dan dimakamkan dengan upacara kaisar. Putra-putranya juga diberi gelar bangsawan, namun cucu dan keturunannya lambat laun menghilang dari catatan sejarah.
Source | : | Britannica |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR