Nationalgeographic.co.id—Saat ini, banyak orang bersaing satu sama lain untuk menjadi warga negara AS dan Uni Eropa. Namun dulu, menjadi rakyat Ottoman juga bergengsi. Bagi mereka yang tertindas karena keyakinan, ras, dan tradisi mereka, menjadi rakyat Ottoman adalah cara untuk menyelamatkan hidup mereka.
Kriteria menjadi subjek atau rakyat di sebuah kerajaan tidak menunjukkan kesamaan dengan yang ada di negara-bangsa di mana ras atau etnis tertentu sering kali dominan dan yang lainnya dipandang sebagai minoritas. Terlepas dari etnis dan agamanya, rakyat dianggap sebagai anak-anak kaisar.
Mirip dengan seorang ayah yang tidak membeda-bedakan anak-anaknya, subjek kerajaan sama di depan hukum. Beberapa mungkin lebih setara dari yang lain, tetapi ini tidak melanggar norma umum.
Negara Utsmaniyah atau Ottoman bukanlah sebuah negara-bangsa, itu adalah sebuah kerajaan. Negara itu selalu lebih maju daripada negara-negara kontemporernya dalam hal persepsi rakyat dan hak-hak minoritas.
Rakyat Ottoman berasal dari latar belakang agama yang berbeda, tetapi mereka setara di depan hukum. Saat itu, hak ini tidak diberikan kepada mereka yang berada di luar kelompok dominan di mana pun di seluruh dunia.
Apakah mereka Muslim atau bukan, semua orang yang mengakui kedaulatan Kesultanan Utsmaniyah adalah rakyatnya. Sebagai imbalannya, Kesultanan Ottoman diharapkan untuk melindungi rakyat.
Mengapa Kekaisaran Ottoman mau menerima dan menampung semua pengungsi?
Ekrem Bugra Ekinsi menulis untuk Daily Sabah bahwa "Ketika umat Islam yang tinggal di negara lain ingin berimigrasi ke Kesultanan Utsmaniyah, kekaisaran merasa dirinya bertanggung jawab untuk membiarkan para imigran menjadi rakyatnya. Tidak peduli di negara mana mereka tinggal, Kekaisaran Ottoman memperlakukan Muslim dunia sebagai rakyatnya."
Setelah invasi Rusia ke Krimea pada tahun 1784 dan Kaukasus pada tahun 1864, umat Islam yang tinggal di wilayah-wilayah itu berimigrasi ke Anatolia baik melalui jalur kapal atau darat. Ribuan dari mereka meninggal dalam perjalanan.
Kaum Muslim yang berhasil mencapai wilayah Kekaisaran Ottoman, menetap di desa dan kota yang tersedia. Ketika kekuasaan Ottoman surut di Eropa Tengah dan Balkan menjelang akhir abad ke-17, umat Islam berbondong-bondong ke Anatolia dan mencari suaka di sana. Imigrasi besar-besaran dan gelombang pengungsi ini berlanjut hingga sesaat sebelum jatuhnya Rusia.
Sepanjang sejarah, tidak hanya Muslim, tetapi juga orang dan kelompok nonmuslim dari seluruh dunia yang terkena diskriminasi karena agama, ras, atau gaya hidup mereka, terpaksa berlindung di bawah Kekaisaran Ottoman. Mereka disambut dengan baik oleh masyarakat Ottoman yang dulunya memiliki budaya yang agak berbeda.
Baca Juga: Puja-puji untuk Ottoman, Kenapa Banyak Orang Mau Kembali ke Era Itu?
Baca Juga: Enam Penyebab Jatuhnya Kekaisaran Ottoman: Dilemahkan oleh Pihak Luar?
Baca Juga: Gempa Bumi Pengguncang Turki: Era Romawi, Ottoman, hingga Republik
Mereka juga menemukan kesempatan untuk melanjutkan hidup mereka seperti yang mereka inginkan tanpa rasa takut. Pemerintah Ottoman memberikan pengungsi nonmuslim untuk menjadi rakyat tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Ini semua karena tradisi Oghuz (Oghuz Khan, Kaisar Turki legendaris yang diterima sebagai nenek moyang Dinasti Ottoman pada masa pra-Islam). Tradisi ini merupakan salah satu fondasi budaya Ottoman.
Tradisi kuno ini memerintahkan untuk menjamu tamu dan tidak menyerahkannya kepada musuh mereka siapa pun mereka. Ada banyak tuan tanah di Ottoman yang bahkan akan mengangkat senjata untuk menjaga rumah mereka sepanjang malam untuk melindungi tamu mereka.
Kekaisaran Ottoman bahkan mengambil risiko perang untuk tujuan ini. Prinsip serupa juga ada dalam budaya dan ajaran Islam.
Pada awal abad ke-15, Qara Yousuf, sultan Negara Kara Koyunlu dan Sultan Irak dan Azerbaijan selatan Ahmad Jalayir, keduanya melarikan diri dari Timur (Tamerlane) dan berlindung kepada Ottoman Sultan Bayezid I. Timur menulis surat untuk meminta mereka kembali.
Bayezid menolak permintaan tersebut, yang berarti dia mengambil risiko berperang melawan tentara terbesar di dunia. Hidup untuk kehormatannya, Bayezid dikalahkan dan kehilangan takhtanya dan bagian tertentu dari negaranya.
Puluhan ribu orang Yahudi yang tinggal di Spanyol dianiaya oleh orang-orang Kristen dan dipaksa untuk memilih antara masuk Kristen atau mati. Sejak 1492, hampir semuanya berlindung di Kesultanan Utsmaniyah.
Kapal Ottoman bolak-balik antara Spanyol dan pantai Ottoman untuk membawa mereka. Para pengungsi menetap di kota-kota pelabuhan yang kaya seperti Konstantinopel, Smyrna, dan Thessaloniki.
Lebih jauh lagi, Konstantinopel disebut-sebut sebagai kota dengan jumlah Yahudi terbanyak di dunia selama bertahun-tahun. Buku-buku tentang sejarah Yahudi dengan jelas menyatakan bahwa Kesultanan Utsmaniyah adalah negeri tempat orang-orang Yahudi diterima sebagai pengungsi dan tempat mereka tinggal dengan nyaman.
Pada gilirannya, siapa pun mereka tanpa pandang agama disambut secara terbuka oleh masyarakat Ottoman. Tidak seperti pengungsi yang ada di Amerika Serikat atau Eropa saat ini.
Source | : | Daily Sabah |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR