Nationalgeographic.co.id—Sebuah penelitian terbaru mengeksplorasi salah satu hubungan manusia-lingkungan yang paling bertahan lama di Kalimantan atau Borneo, yakni perburuan babi berjanggut oleh penduduk asli.
Diterbitkan di jurnal npj Biodiversity, makalah hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana tradisi berburu ini, bersama faktor lingkungan, telah mempengaruhi distribusi babi berjanggut di Kalimantan.
“Sungguh menarik untuk dapat menunjukkan secara kuantitatif apa yang kita tahu secara intuitif adalah benar—bahwa manusia dan alam pada dasarnya terhubung,” jelas Kurz, seorang postdoctoral fellow dalam ilmu lingkungan di Trinity College yang saat studi ini berlangsung merupakan mahasiswa PhD di University of California - Berkeley.
Proyek studi ini didasarkan pada penelitian yang dimulai Kurz sebagai mahasiswa pascasarjana di laboratorium Profesor Justin Brashares dan Matthew Potts. Untuk lebih memahami distribusi spasial spesies, tim riset Kurz menggunakan model kuantitatif untuk menilai pengaruh faktor sosial dan lingkungan di lokasi habitat babi berjanggut.
Para peneliti memasangkan pengamatan dari kamera yang dipicu dari jarak jauh yang tersebar di seluruh hutan hujan di Malaysia Timur dengan angka dari sensus Malaysia dan data lingkungan dari Google Earth Engine.
Mereka juga menggunakan metrik aksesibilitas berburu yang ada untuk memasukkan pengaruh resistensi bentang alam dan kepadatan populasi dalam model.
Menurut temuan studi ini, kemunculan babi berjanggut di kamera ditemukan terkait dengan faktor lingkungan tertentu. Misalnya, kemuculan babi berhubungan positif dengan kedekatan dengan air.
Baca Juga: Tiga Jenis Babi Unik di Indonesia: Babi Berjanggut hingga 'Bercula'
Baca Juga: Mengenal Babi Berjanggut di Riau yang Kini Berstatus Terancam Punah
Baca Juga: Babi Berjanggut Kalimantan, Penjelajah dan Pelindung Hutan Kalimantan
Para peneliti berhipotesis bahwa air dapat membantu babi menjadi dingin di lingkungan tropis yang hangat. Atau, bahwa pohon ara di dekat air dapat menjadi sumber makanan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara masyarakat adat pemburu dan aksesibilitas berburu. Para peneliti memperkirakan bahwa keberadaan babi di lokasi terpencil secara positif terkait dengan proporsi komunitas pribumi pemburu babi yang lebih tinggi.
Tim peneliti memperkirakan bahwa kemunculan babi di daerah yang lebih dekat dengan jalan dan permukiman dikaitkan dengan proporsi sedang hingga rendah dari komunitas yang sama.
Studi ini memberikan bukti kuantitatif untuk keberlanjutan tradisi perburuan babi oarang pribumi dan kemunculan babi di berbagai bentang alam. Jadi, hasil penelitian ini memberikan dukungan empiris untuk hak berburu pribumi, yang telah dipegang oleh masyarakat lokal di Borneo Malaysia selama ribuan tahun.
Babi berjanggut penting bagi komunitas Kadazandusun-Murut (KDM) Borneo di Sabah, dan komunitas Iban di Sarawak. Babi tidak hanya menjadi sumber daging yang disukai orang lokal, tetapi perburuan merupakan batu ujian budaya yang penting bagi banyak orang.
Selama penelitian ini, strain demam babi afrika (African Swine Fever/ASF), yang menyebabkan kematian tinggi pada babi domestik dan liar, berjangkit di wilayah studi mereka. Wabah tersebut menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa komunitas lokal menurut rekan penulis Esther Lonnie Baking, seorang mahasiswi PhD di Universiti Malaysia Sabah.
“Rendahnya pasokan daging babi berdampak pada penjual dan konsumen, yakni harga per kilogram naik tiga kali lipat dari harga normal sebelum kejadian ASF,” ujar Baking, seperti dikutip dari laman University of California - Berkeley.
"Orang-orang leih memilih berhenti membeli daging babi," imbuhnya.
Menurut Kurz, babi berjanggut mampu bereproduksi secara cepat. Dengan makanan yang cukup, seekor babi betina dapat melahirkan selusin atau lebih anak babi dalam satu tahun.
Para peneliti menyarankan agar para pemimpin adat dan pejabat pemerintah dapat menilai dengan lebih baik keberlanjutan praktik perburuan selama wabah ASF dengan membandingkan lintasan pemulihan dengan perkiraan populasi dasar.
Ikatan yang dalam antara manusia dan babi di Kalimantan menggarisbawahi pentingnya memahami hubungan kita yang lebih luas dengan alam.
Jadi, memasukkan pengaruh manusia, seperti kekayaan, kebisingan, pendakian dan rekreasi, polusi cahaya, praktik penangkapan ikan, dan distribusi taman kota, dalam studi satwa liar dapat membantu peneliti menentukan cara orang membentuk distribusi satwa liar.
Memahami gambaran yang lebih lengkap tentang hubungan manusia-lingkungan, kata Kurz, dapat membantu kita menyeimbangkan keberlanjutan sosial dan ekologis jangka panjang.
Source | : | University of California Berkeley |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR