Nationalgeographic.co.id—Sejak memasuki tahun 1930-an, kondisi sosial masyarakat Indramayu pada era Hindia Belanda perlahan berubah. Kebiasaan pemakaian gitar, bukan lagi soal orang Eropa, banyak di antara kalangan bumiputera sudah lihai memainkannya.
Salah satu tokoh yang muncul dalam perkembangan histori musik tarling adalah Sugra. Bersuara merdu dan mahir memainkan alat musik, membuat setiap dendang lagu yang dinyanyikannya mudah diminati dan disukai oleh kalangan luas.
Sugra adalah seorang pribumi Indramayu yang lahir dari ayah yang mahir memainkan lagu dengan gamelan. Ayahnya, Talan, juga mahir dalam bidang seni kidung. Barangkali kebolehan Sugra dalam bermusik telah diwariskan dari ayahnya.
Melalui konteks kegetiran dan realitas sosial yang ada, Sugra mulai menggubah lirik-lirik menyayat hati dengan membawa musik klasik berbalut gitar dan gamelan, sehingga terciptalah kiser—tembang tarling klasik— yang kemudian menjadi cikal bakal musik Tarling Dermayonan.
Lasmiyati dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, menuliskan kisah Sugra dan histori munculnya musik tarling dalam jurnal Patanjala berjudul Sugra: Tokoh Perintis dan Dinamika Tarling Indramayu (1930-1997) yang diterbitkan tahun 2020.
Semakin dikenalnya alat-alat musik Eropa yang dipadukan dengan alat musik tradisional, membuat musik gubahan Sugra terdengar mengesankan. Dengan cepat musiknya tersebar luas di wilayah Indramayu dan Cirebon.
Setelah diperkenalkan secara luas, Lasmiyati mengeklaim kehadiran tarling sebagai salah satu bukti adanya akulturasi kebudayaan Eropa dengan kebudayaan setempat, di mana hal itu dapat terjadi dari kehadiran Pelabuhan Cimanuk.
"Seni-seni yang menjadi pembuktian sejarah akulturasi di Pelabuhan Cimanuk adalah berokan, dombret, genjring, umbul, jidur, macapat, renteng, ronggeng ketul, rudat, sampyong, sandiwara, sintren, tayuban, tari topeng, trebang, wayang golek cepak, dan tarling," tambahnya.
Wajar saja, akulturasi dengan pesat terjadi di Pelabuhan Cimanuk tatkala jung-jung besar dari banyak bangsa dan negara berlabuh di sana. Kapal-kapal besar bukan hanya berhenti dari segi perdagangan saja, melainkan mengomunikasikan budaya baru.
Tentang tarling yang dicetuskan Sugra sebagai gaya musik baru, sejatinya perkembangan dari notasi nada yang ia dengarkan sebelumnya dari gaya musik yang sering dimainkan ayahnya, Talan.
"Dari nada yang ada dalam gamelan, tampaknya Talan tidak paham notasi doremi. Talan hanya paham dengan notasi diatonis, sementara notasi pentatonis tidak dikuasainya," terus Lasmiyati.
Sugra yang sudah menguasai nada-nada dalam gitar dengan notasi doremi, dapat memadukannya dengan nada-nada yang ada pada gamelan. Olehnya, grade-grade-nya dibuat pentatonis sehingga lahirnya alunan gitar pentatonis Dermayu.
Alunan gitar dan gamelan itu adalah bunyi-bunyian tembang klasik, yaitu temponya lambat, tidak ada syair lagu, yang ada kerangka lagu (wirahma). Dari sana, lahirlah kiser yang menjadi awal perkembangan musik tarling.
Tembang tarling awalnya tergolong ke dalam lagu yang tidak memiliki ketukan. "Iramanya bebas tetapi ada aturan panjang pendek tertentu yang tidak bisa dituliskan. Dalam sistem laras lagu Sunda, irama tersebut digolongkan sebagai sekar wirahma mardika," lanjutnya.
Baca Juga: Tarling, Musik Khas Indramayu Tentang Ketabahan dalam Penderitaan
Baca Juga: Nyah Kiok dan Tujuh Bidadari Lasem, Kisah Batik Tiga Negeri Pantura
Baca Juga: Kisah Para Pengidap HIV/AIDS di Pantura Melawan Stigma Buruk Mayarakat
Baca Juga: Nada Nusantara: Menyelamatkan Kebinekaan Musik Tradisi dari Kepunahan
Berlatar kepiluan akan perkembangan zaman kolonial, lirik-lirik musik tarling selalu mengisahkan larik sendu dan penderitaan.
Lagu dan liriknya serupa dengan lagu-lagu yang berkarakter elegi (kesedihan) maupun balada (lagu-lagunya panjang). Lirik lagu-lagu tarling tidak baku, akan tetapi berisikan syair-syair yang secara cerdas diungkapkan seketika menurut tema lagunya.
Syair tarling berisikan sastra wangsalan, parikan, paribahasa dan purwakanti. Tembang tarling kreasi merupakan suatu kreasi dari tembang macapat atau tembang cilik yang sudah dikenal sebelumnya sebagai jenis tembang di Jawa.
Tahun 1936-an, tembang tarling mulai mewabah di kalangan anak muda. Anak-anak muda di Indramayu sudah mulai berkeinginan memiliki gitar sendiri. Sampai terdengar luas, hampir di seluruh tanah Pantai Utara Jawa (Pantura), tarling menjadi populer, bahkan hingga hari ini.
Source | : | jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR