Nationalgeographic.co.id—Banyak orang memahami kehidupan di harem Kekaisaran Ottoman sebagai tempat di mana wanita-wanita cantik menjadi budak di dalam istana. Mereka dipaksa untuk melayani hasrat seksual para penguasa. Benarkah?
Nyatanya, gambaran di atas tidak sepenuhnya akurat. Lantas, seperti apa sebenarnya kehidupan perempuan yang tinggal di harem Sultan Ottoman?
Untuk memahami seperti apa kehidupan di harem, kita harus menilik sejarah ide tersebut. Perlu memahami tujuan apa yang seharusnya dilayani dan mengapa hal tersebut sangat mengakar dalam budaya elit Kekaisaran Ottoman.
Faktanya, Ottoman tidak menciptakan harem. Praktik mengasingkan istri dan kerabat perempuan dari sorotan publik sudah ada sejak zaman kuno, bahkan sejak orang-orang Asyur.
Mungkin, selama ini kita menganggap harem sebagai tempat yang berisi beberapa istri dan selir, namun hal ini tidak selalu demikian.
Penting untuk diingat bahwa semua budaya ini sangat patriarkal. Wanita sebagian besar dipandang sebagai milik suami mereka. Dan wanita juga merupakan simbol status.
Gagasan bahwa seorang wanita tidak boleh terlihat di depan umum adalah hal yang lazim di masyarakat ini, tetapi kebanyakan wanita harus bekerja, sehingga mengharuskan mereka meninggalkan rumah.
Bagi para penguasa, memiliki harem memiliki dua tujuan. Pertama, mencegah wanita berperilaku "tidak sopan", yang akan memengaruhi reputasi suaminya. Kemudian, membuktikan bahwa ia sangat kaya sehingga mampu mempertahankan istrinya di rumah.
Praktik menyimpan harem diperkenalkan kepada orang-orang Turki oleh Kekhalifahan Arab, yang juga telah mengenalkan Islam kepada mereka.
Islam menjunjung tinggi kemurnian dan kesopanan seksual, yang berarti bahwa praktik memisahkan istri dan kerabat dari masyarakat lainnya memiliki pembenaran agama bagi Ottoman.
Di bawah Kekaisaran Ottoman, harem berevolusi dari tempat untuk mengasingkan wanita menjadi berfungsi hampir sebagai rumah tangga kerajaan. Selain istri dan selir, para Sultan kerap membesarkan anak laki-lakinya hingga usia 12 tahun di harem.
Meskipun kita sering menganggap harem sebagai tempat di mana Sultan menampung banyak wanita untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, kenyataannya ini jauh lebih runyam.
Sebenarnya, terdapat dua kelompok wanita yang berada di harem Sultan, yaitu istri dan kerabat sultan serta budak. Kedua kelompok ini memiliki pengalaman yang saling berbeda.
Perbudakan merupakan hal lazim dalam Kekaisaran Ottoman, sebagian besar mereka diambil dari masyarakat non-muslim di daerah pinggir Kekaisaran, seperti Balkan, Kaukasus, dan Afrika.
Jadi, meskipun Sultan memiliki istri yang dinikahinya untuk tujuan menjalin aliansi dan melanjutkan dinastinya, ia juga memiliki sejumlah selir yang diperbudak.
Wanita yang diperbudak di harem dikenal sebagai "jariyah", dan biasanya dibawa ke harem pada usia muda. Setelah masuk ke dalam harem, biasanya mereka memilih nama baru dan memutuskan hubungan mereka dengan kehidupan masa lalu.
Sebagian besar, pada tahun-tahun awal kehidupan mereka difokuskan pada pendidikan. Gadis-gadis itu diberi pelajaran setiap hari dalam segala hal, mulai dari menari hingga matematika dasar.
Bahkan, pendidikan yang diberikan kepada gadis-gadis di harem jauh lebih baik daripada yang diterima kebanyakan wanita di Kekaisaran Ottoman.
Namun yang paling utama, para gadis ini diharapkan dapat mempelajari sopan santun dan tradisi istana. Mereka akan dinilai berdasarkan tindak tanduk mereka. Seringkali, mereka yang tidak patuh akan dilarang tinggal di harem dan akan dinikahkan dengan orang biasa.
Di sisi lain, gadis-gadis yang berprestasi dalam studinya dibawa untuk mengabdi di istana. Beberapa ditugaskan untuk mengerjakan tugas-tugas dasar seperti membantu memasak atau mencuci pakaian.
Namun, gadis-gadis yang paling cerdas serta berbakat diberi posisi yang penting, seperti membantu mengelola keuangan rumah tangga atau membantu menjalankan operasi harian istana.
Gadis-gadis paling cantik dan santun sering dibawa untuk menemui Sultan. Adalah kesalahpahaman umum bila setiap gadis di harem berhubungan seks dengan Sultan. Kebenarannya, bahwa sebagian besar gadis bahkan tidak pernah berbicara dengan penguasa.
Namun, Sultan kadang-kadang memilih wanita dari harem untuk berbagi tempat tidur. Dan begitu mereka melakukannya, mereka menjadi bagian resmi dari rumah tangga Sultan dan dipindahkan untuk tinggal bersama istri dan keluarga Sultan.
Gadis-gadis itu akan membantu membesarkan anak-anak yang mereka miliki dengan Sultan bersama dengan saudara tiri mereka.
Baca Juga: Peran Hafsa, Hurrem, dan Mihrimar dalam Kemakmuran Kekaisaran Ottoman
Baca Juga: Kisah Ibrahim Kekaisaran Ottoman, Gila Wanita Punya Ratusan Selir
Baca Juga: Bagaimana Kopi Berperan dalam Kehancuran Kekaisaran Ottoman?
Baca Juga: Ibrahim dari Kekaisaran Ottoman, Besar di Kandang Hingga Sakit Mental
Keluarga Sultan tinggal di tempat yang dapat digambarkan seperti “kandang berlapis emas”. Mereka diberi pakaian yang bagus dan makanan yang baik, serta memiliki standar hidup yang jauh lebih tinggi daripada rata-rata penduduk Kekaisaran Ottoman.
Namun, mereka tidak mudah untuk mendapatkan izin meninggalkan harem. Kapan dan apakah mereka diizinkan pergi ke luar istana ditentukan oleh Valide Sultan, ibu dari Sultan yang sedang berkuasa.
Valide Sultan bertanggung jawab atas harem, dan ia memiliki kekuasaan yang sebenarnya atas kehidupan dan kematian para wanita di dalamnya.
Meskipun secara umum wanita di harem aman dari kekerasan, selalu ada kemungkinan bahwa Sultan atau ibunya akan mengeksekusi orang yang dirasa tidak menyenangkan mereka, seperti terlibat dalam perjuangan kekuasaan politik dan kalah.
Sultan Ibrahim yang gila terkenal memerintahkan ratusan selirnya untuk ditenggelamkan di Selat Bosphorus karena mengidap paranoia.
Dus, harem adalah tempat di mana wanita secara baik dikurung dan hidup sesuai kehendak Sultan. Meskipun perbudakan seksual bukanlah hal utama dalam hidup mereka seperti apa yang banyak orang bayangkan, namun itu selalu menjadi kemungkinan.
Source | : | History Collection |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR