Tiga tenunan yang dominan dalam hierarki Ottoman: beludru (kadife), menampilkan permukaan tiga dimensi dengan beberapa area tumpukan dan beberapa benang logam; brokat (kemha) dan kain dari benang emas dan perak (seraser)—paling mahal dan mewah.
Pada pertengahan abad ke-16, tren dan selera publik Utsmaniyah semakin menyukai desain yang besar dan berani, seperti medali, garis harimau bergaya, dan desain triplespot yang dikenal sebagai çintamani (secara harfiah berarti permata keberuntungan).
Baca Juga: Devsirme: Sebuah Tangga ke Puncak Kekaisaran Ottoman bagi Non-Muslim
Baca Juga: Kisah Mistik di Kekaisaran Ottoman dalam Catatan Evliya Çelebi
Baca Juga: Tempat Terlarang, Kehidupan Tersembunyi Harem Kekaisaran Ottoman
Baca Juga: Kosem Sultan, dari Selir Hingga Jadi Permaisuri Ottoman Haus Kekuasaan
Dengan berulang kali menggabungkan motif serupa dalam skala dan pola yang berbeda, Ottoman adalah yang pertama menggunakan motif berulang untuk menciptakan bahasa visual yang dramatis dan berbeda—yang pada dasarnya adalah "Ottomanbrand".
Pusat utama pertama industri sutra Ottoman adalah Bursa di Turki Barat Laut, yang pada abad ke-16 menjadi salah satu kota terkaya di dunia. Karena meningkatnya permintaan pengadilan akan kain sutra, Istanbul juga menjadi pusat manufaktur yang penting.
"Sutra Ottoman, baik dalam keadaan mentah maupun jadi, adalah barang mewah yang didambakan diekspor ke Eropa, Balkan, Polandia, dan terutama ke Rusia, pasar terbesar kekaisaran," imbuhnya.
Ottoman, telah aktif dalam aktivitas ekspor-impor bulu dan cerpelai untuk melapisi dan menghiasi pakaian luar mereka. Mereka juga sangat mengagumi sutra Italia, terutama beludru, yang mereka impor dalam jumlah besar.
Banyak sutra Italia dibuat khusus untuk pasar Turki, di mana mereka dibuat terutama menjadi jubah kerajaan. Beludru yang diproduksi secara lokal disediakan terutama untuk penutup bantal atau lantai karena kualitasnya dianggap tidak cukup tinggi untuk jubah kekaisaran.
Source | : | Smithsonian: National Museum of Asian Art |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR