Nationalgeographic.co.id—Turki punya tradisi unik dalam spiritualitas untuk mendekatkan diri kepada Sang Ilahi. Yang paling menarik adalah seni tari darwis yang berputar. Kesenian dan gerakan spiritualitas ini tidak hanya populer di Turki hari ini, tetapi juga semasa Kekaisaran Ottoman.
Atraksi seni tari darwis menjadi daya tarik wisatawan di Turki, dan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO tahun 2008. Tarian ini sering dipraktikkan oleh kalangan Tarekat Maulawiyah hari ini.
Meski populer semasa Kekaisaran Ottoman, seni ini sudah ada sebelumnya. Sufi dan penyair Jalaluddin Rumi semasa Kesultanan Rum mempopulerkannya. Rumi sebenarnya bukan orang Turki. Dia lahir tahun 1207 di Balkh, daerah yang sekarang berada di Afganistan.
Rumi bersama keluarganya pindah ke Konya, Turki, karena invasi Mongol di tahun 1215—1220 ke Asia Tengah. Tahun 1244, dia berkenalan dengan penyair Persia bernama Syamsuddin at-Tabrizi sebagai gurunya. Dari sinilah Rumi mengenal musik, sastra, dan tarian sebagai cara mistik untuk berhubungan dengan Tuhan.
Eva Syarifah Wardah dan Siti Rohayati, peneliti dari UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten dalam makalah di jurnal Tsaqofah tahun 2020, menjelaskan bahwa tarian darwis ini baru ada ketika at-Tabrizi meninggal dunia. Sebagai bentuk kesedihan, Rumi mulai berputar sehingga membentuk tarian.
"Dari tarian Maulawiyah, Jalaluddin Rumi kemudian menemukan tujuan hidup yang hakiki, yaitu mencari Tuhan. Sejak saat itulah Jalaluddin Rumi mulai berputar," tulis Eva dan Siti.
Tarian ini sering ia lakukan ketika hendak mengingat Tuhan atau sedang mengalami kesedihan. Tarian ini kemudian diajarkan kepada sahabat dan murid-muridnya di Konya, seiring dengan penyebarluasan pemahaman sufistik Rumi.
Musik, menurut Rumi "adalah makanan rohani seperti zikir yang di dalamnya manusia berputar mengitari pusat gaya berat rohani, yaitu Tuhan," terang Eva dan Siti."Dengan mendengarkan musik, mereka merasakan adanya kekuatan besar yang terkumpul dan terbentuk dalam imajinasi."
Ketertarikan Rumi pada musik membuat ajarannya tidak terpisahkan dengan seni suara. Tarian darwis kemudian menjadi ciri khas dasar murid-muridnya. Tarian baru bisa terlaksana bila ada musik yang mengiringinya, dan berhenti ketika musisi dan penyanyi menghentikan iringannya.
Musik adalah simbol ketuhanan yang sedang menari, dan putaran tubuh adalah tiruan alam raya seperti planet yang terus mengorbit.
Sementara posisi tangan pada tarian, secara simbolik, menunjukkan posisi di mana hidayah Tuhan diterima di tangan kanan yang terbuka ke atas. Kemudian tangan kiri adalah penyebar hidayah untuk semua makhluk yang ada di Alam Semesta.
"Ini mempresentasikan sebuah penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan," terang Eva dan Siti.
Dalam tarian, seorang penari darwis harus menggunakan kaki kiri untuk menggerakan tubuh di sekitar kaki kanannya. Mata penari harus terbuka dan tidak fokus saat berputar melawan arah jarum jam.
Tarian ini menggunakan pakaian rok penari. Rok penari dalam tarian ini menjadi kerucut melingkar ketika putaran penari mengalami percepatan "sekitar empat kali gravitasi bumi", menurut penelitian di New Journal of Physics tahun 2013. Sehingga, pola gelombangnya "berpuncak yang terlihat melawan gravitasi dan akal sehat".
Baca Juga: Menyingkap Kitab Astronomi Abd-al Rahman al-Sufi dari Abad ke-10
Baca Juga: Bukan Ottoman, Tulip Sampai di Eropa Berkat Kerajaan Islam Andalusia
Baca Juga: Mistisisme dan Sufisme di Kekaisaran Ottoman, Mulanya Dianggap Sesat
Baca Juga: Cerita Gigi Hitam Elizabeth I & Persekutuan dengan Kekaisaran Ottoman
Rumi pun meninggal dunia tahun 1273. Putranya, Sultan Walad mendirikan Tarekat Maulawiyah yang kemudian tariannya disebarkan ke seluruh Tukri. Awalnya, tarekat ini menjadi kontroversi di Konya. Begitu semakin luas penyebarannya di masa Kekaisaran Ottoman, penolakan berlanjut karena dinilai aneh dan sesat.
Walau Tarekat Maulawiyah dan tariannya mengundang kontroversi dan dikritik karena memegang ide sesat, tariannya cenderung dihormati di kalangan Kekaisaran Ottoman dan masyarakat. Penerimaan baik ini terjadi ketika Sultan Beyezid I menikah dengan salah satu pengikut tarekat bernama Davlet Hatun.
Namun, tarian darwis sempat dilarang ketika Kekaisaran Ottoman jatuh dan digantikan oleh Republik Turki pada 1935. Perlahan-lahan pelarangan tarian darwis dilonggarkan di Konya pada 1950-an, dan kemudian berlanjut hingga populer kembali seperti sekarang.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Berbagai sumber |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR