Nationalgeographic.co.id—Menjelang akhir abad ke-2, kekuatan Dinasti Han Kekaisaran Tiongkok makin menurun. Akhirnya, pada tahun 220, kaisar Han terakhir disingkirkan. Kekaisaran Tiongkok pun terbagi menjadi tiga kerajaan penerus: Shu Han, Wei, dan Wu. Dikenal sebagai periode Tiga Kerajaan (Three Kingdoms), ini adalah era peperangan dan intrik politik yang singkat namun penuh darah.
"Periode yang berlangsung dari 222 hingga 265 Masehi menjadi masa yang paling menarik dalam sejarah Tiongkok," tulis Gloria Lotha di laman Britannica. Periode Tiga Kerajaan menjadi subjek favorit fiksi sejarah dan bentuk seni lainnya. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah novel Sanguozhi Yanyi (Romance of the Three Kingdoms).
Tiga raja, tiga kerajaan
Liu Bei, anggota keluarga kekaisaran Liu, mendirikan sebuah kerajaan bernama Shu Han. Shu merupakan istilah kuno untuk wilayah Sichuan dan Han menyiratkan ini sebagai kelanjutan dari Dinasti Han.
Di Tiongkok utara, seorang pria bernama Cao Pei mendirikan sebuah kerajaan bernama Wei. Cao Pei adalah anak laki-laki Cao Cao, anak angkat seorang kasim. Cao Cao adalah salah satu dari banyak orang yang memperebutkan kekuasaan di bawah dekade terakhir Han. Ia merebut banyak wilayah besar di Tiongkok utara di bawah kendalinya. Kematiannya pada tahun 220 memungkinkan putranya Cao Pei mendirikan kerajaan Wei.
Di Tiongkok tenggara, negara bagian ketiga dibentuk, diperintah oleh seorang pria bernama Sun Wu. Kerajaan itu sendiri juga disebut Wu, nama sejarah kuno tradisional untuk bagian Tiongkok itu.
Mengapa periode Tiga Kerajaan begitu terkenal?
Apa yang membuat periode Tiga Kerajaan begitu memesona adalah bahwa periode itu menjadi zaman kepahlawanan dan romansa yang hebat. Hal ini dipandang oleh orang Tionghoa sebagai zaman keemasan. Namun bukan karena pemerintahan yang baik atau puisi dan seni yang berkembang, tetapi itu adalah masa keemasan petualangan besar.
Alasannya, antara lain, karena para pahlawan periode ini bukanlah cendekiawan, pejabat politik, atau kaisar. Mereka adalah orang-orang militer yang terkenal kecerdasannya, alih-alih kekuatan yang menghancurkan.
Di masa ini, memenangkan pertarungan dengan tidak berperang dianggap sebagai pencapaian luar biasa seorang pahlawan.
Salah satu sosok yang sangat menarik adalah Zhuge Liang, jenderal yang dikenal sebagai salah satu ahli strategi terbesar dalam sejarah Tiongkok. Padahal sejak awal, ia tidak pernah menjadi penguasa atau memiliki ambisi untuk merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri.
"Cao Cao dan Zhuge Liang sering dianggap sebagai teladan hebat dalam strategi cerdik," kata Kenneth J. Hammond di laman Wondrium Daily.
Source | : | Britannica,Wondrium Daily |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR