Hal ini malah membuat mereka meninggalkan kota menuju tempat dengan udara bersih dan sehat. Namun, perpindahan ini sebagian besar terbatas pada kalangan elite.
Varlik mengatakan cara berpikir masyarakat Ottoman tentang wabah berubah seiring waktu. Secara umum pada abad-abad pertama sejarah Ottoman, wabah dipahami sebagai keputusan ilahi, pertanda kiamat, dan akibat dari pelanggaran sosial dan moral.
Dimulai pada akhir abad ke-16, wabah tidak lagi dipandang sebagai fenomena apokaliptik yang tak terkendali.
Sebaliknya, penyakit ini dilihat sebagai penyakit yang diakibatkan oleh sebab-sebab alami (misalnya, kota yang tidak sehat), dan sesuatu yang dapat dikendalikan oleh pemerintah.
Sejak wabah wabah berlanjut di Kekaisaran Ottoman selama enam abad, penduduk menjadi lebih akrab dengan penyakit ini sebagai masalah yang berulang, hampir musiman, dan mencari cara untuk melindungi diri dari itu, menggunakan obat-obatan, doa, jimat, dan metode lainnya.
Pada abad ke-19, Kekaisaran Ottoman mendirikan stasiun karantina untuk tujuan mengendalikan dan mendisinfeksi individu dan barang yang memasuki perbatasannya.
Varlik menegaskan, wabah adalah masalah yang berulang di Kekaisaran Ottoman dan orang-orang akrab dengan tanda, gejala, dan perilakunya. Masyarakat Ottoman jadi lebih bisa menebahk kapan wabah akan dimulai, berapa lama akan berlangsung, berapa banyak yang akan mati, dan sebagainya.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Source | : | TRT World |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR