Nationalgeographic.co.id—“Aga karèba? baji-baji ji? (apa kabar? baik-baik sajakah)?” tanya Sakka pada saya.
Itu adalah bahasa Makassar. Terasa tidak asing, tetapi unik rasanya mendengar bahasa Makassar di Belitung. Sebelumnya, dia tahu bahwa saya orang Makassar ketika kami saling memperkenalkan diri.
“Iyè. Alhamdulillah, baji-baji ji (Iya, Alhamdulillah, baik-baik saja),” jawab saya terbata-bata.
Di Tanjung Binga ada banyak orang Bugis. Ketika kami tiba di kampung nelayan ini, banyak lelaki-lelaki tua hilir-mudik menggunakan peci Bugis berwarna hitam dengan rajutan warna kuning mengitarinya. Permukiman mereka umumnya terbuat dari kayu.
Kebetulan saat kami tiba, sedang ada pesta yang digelar oleh warga yang hendak naik haji. Lagu-lagu yang diputar pun bernuansa Bugis, sementara tetamu asyik menyantap hidangan laut. Bagi saya sendiri, rasanya seperti pulang kampung.
Di masa lalu, wilayah barat dan utara Belitung—seperti Tanjung Binga—merupakan persinggahan para pelaut, salah satunya adalah orang Bugis.
Bahkan, catatan masa Hindia Belanda pun sudah menyebutkan keberadaan pinisi—kapal tradisional Bugis—beraktivitas di Pelabuhan Tanjung Pandan. Selain orang Bugis dan orang Melayu, banyak etnis lain yang menetap di sini, seperti Tionghoa, Madura, dan juga Bali.
Kabar awalnya, orang Bugis menetap di Tanjung Kelayang. Kemudian mereka bergeser ke Tanjung Binga. Ada juga yang menghuni Pulau Gersik di barat Belitung karena letaknya di tengah lokasi pelayaran.
Orang Belitung hanya mengenal mereka sebagai orang Bugis, padahal ada orang Makassar dan Mandar yang tinggal di Belitung. Saya pikir mungkin karena bahasa dan logatnya yang sekilas mirip di telinga orang Belitung.
Suatu siang di gudang ikan nelayan Tanjung Binga. Sakka bersama temannya, Sanati, sedang membuat adonan bedda ricca—bedak khas orang Bugis. Beras putih ditumbuk, ditambah pala, cengkih, dan bumbu pelengkap. Lalu, diaduk dengan air. Racikan ini dipakai langsung sebagai bedak untuk muka dan tubuh. Gunanya, mendinginkan kulit nelayan yang melaut dan warga yang mengeringkan ikan.
Untuk simpanan, mereka membuat adonan yang dipotong kecil-kecil dan ditekan-tekan hingga serupa obat tablet. Kemudian, potongan-potongan itu dijemur seharian sehingga akhirnya mengeras.
Bedak ini aman apabila masuk mulut atau termakan karena bahan bakunya berasal dari pangan. Sakka membuktikannya di hadapan saya.
“Aman ji. Coba dimakan,” katanya.
Saya pun mengambil sepotong bedda ricca dan memasukkanya ke mulut. Rasanya tawar. Beberapa detik setelahnya ada rasa yang tersisa di gigi belakang dan lidah. Rasa sisa ini seperti bedak komersial. Pahit. Mereka tertawa. Saya hanya bisa menahan rasa itu di lidah.
Kami berkunjung ke pabrik kerupuk Juve, tak jauh dari perkampungan Bugis itu. Saya mengira nama pabrik ini ada karena pemiliknya pencinta klub sepak bola Juventus dari Italia. Rupanya, Juve ialah kependekan dari nama pemiliknya yang kakak-beradik, Jumniati dan Verawati.
Hasil laut diolah jadi buah tangan camilan kerupuk. Camilan itu beragam seperti teri crispy, kulit ikan, kerupuk cumi tinta hitam, telur cumi, pilus udang, dan pilus ikan tenggiri. Di antara semua camilan, telur cumi yang paling laku.
Sejujurnya, saya bukanlah penikmat makanan laut seperti udang dan cumi. Namun, camilan seperti inilah yang membuat lidah saya menari. Kerupuk kulit ikan adalah favorit saya.
Awalnya, kulit ikan dianggap limbah oleh nelayan. Sampai suatu hari Jumniati dan Verawati memanfaatkannya dengan campuran tepung. Hasilnya, jajanan gurih untuk oleh-oleh.
Selain dijual di pabriknya, kakak beradik itu menitipkannya kepada Galeri KUMKM di Tanjung Pandan.
Rumah adat Desa Keciput bergaya rumah panggung dari kayu. Lokasinya bersebelahan dengan kantor desa, tempat Kepala Desa Pratiwi Perucha bekerja. Biasanya rumah adat ini menjadi tempat menyambut tamu dan wisatawan budaya. Ocha, panggilan akrabnya, menyambut kami di panggung depan rumah adat.
Hidangannya sudah matang. Umak Lep datang membawakannya dengan mentudong atau tudung saji. Dia adalah salah satu juru masak desa yang piawai memasak bedulang untuk tamu. Tudung saji itu berhias kain rajut berpola yang disebut tudung lamba, tanda hidangan sudah lengkap dan siap disantap.
“Mari dimakan, tidak usah malu-malu,” tawar Ocha sembari membuka mentudong. Uap sajian ini mengepul dan aromanya merayu hidung. Ada tujuh ragam makanan hasil laut yang masih hangat. Gangan, sate ikan daun pisang, kerang kucai, sambal belimbing, ikan panggang, dan cumi ketumbar, sampai kudapan kue tradisional menggale dan rujak nanas.
Hidangan bedulang adalah tradisi orang Belitung. Mulanya, warga hanya punya makanan sedikit di setiap rumah. Lalu mereka mulai berbagi dengan mengolah lauk-pauk untuk bersantap bersama. Setiap satu set hidangan ini paling banyak disantap oleh empat orang—angka yang lekat dengan kepercayaan warga.
“Secara filosofis, bedulang artinya kebersamaan,” kata Ocha. “Orang-orang tidak lagi makan ikan dan sayur terpisah-pisah, tapi bisa dinikmati bersama-sama dengan tetangganya.”
Bedulang menjadi makanan yang wajib ada dalam upacara-upacara adat seperti pernikahan. Namun, tradisi ini tergerus zaman seiring masyarakat menikah dengan gaya modern. Banyak pegiat budaya yang menjadikan tradisi ini sebagai wisata kuliner, termasuk Ocha di Desa Keciput. Dia berharap agar bedulang dikenal kembali.
Sate ikan daun pisang adalah sajian yang sering masuk ke piring makan saya. Alih-alih ditusuk seperti sate, ternyata makanan ini berisi campuran sayuran dan olahan laut yang dikukus serupa pepes. Sementara, gangan adalah menu wajib. Sup ikan ini tidak kalah memanjakan lidah saya karena kuahnya berasal dari racikan cabai, kunyit, dan rempah-rempah lainnya.
Desa Keciput berada di pesisir utara Belitung, sekitar setengah jam perjalanan dengan mobil dari ibu kota Kabupaten Belitung Tanjung Pandan. Biasanya, para pejalan datang kemari untuk bersantai di Pantai Tanjung Kelayang, Pantai Batu Banyak, atau menyisiri pulau-pulau kecil dan berbatu seperti Pulau Kelayang.
Batuan granit di Desa Keciput bertebaran di berbagai penjuru, bahkan di depan penginapan kami. Jenis batuan granodiorit ini terbentuk oleh intrusi magma kaya silika hingga mendingin. Saat membeku, batuan muncul ke permukaan akibat pengangkatan dan erosi tanah.
Kami tiba di Konservasi Penyu Aik Batu Banyak, tak jauh dari pantai Batu Banyak dan pantai Tanjung Kelayang. Penangkaran itu dikelola oleh Asril sejak 2013 untuk merawat anakan penyu hijau (Chelonia mydas) dan sisik (Eretmochelys imbricata). Awalnya, ia bersama keluarganya mengawali pelestarian tukik. Belakangan, organisasi pemuda desa turut membantu.
“Bapak latar belakangnya di bidang konservasi?” tanya saya.
Asril menggeleng.
Dia berkata, “Penyu itu dibutuhkan orang dan nelayan. Cuma karena jumlahnya semakin sedikit karena diburu orang dan biawak, saya ambil telur-telurnya.”
Telur-telur itu ia dapatkan di sekitar pesisir di Pulau Kelayang. Setelah menetas, anak penyu dibesarkan beberapa bulan baru dilepaskan ke laut oleh wisatawan. Setelah asyik mengobrol, kami pun mengambil lima ekor anak penyu hijau dari kolam kecil milik penangkaran. Lalu, kami melepasnya di pantai Tanjung Kelayang pada siang hari.
Baca Juga: Bajak Laut Lanun yang Mengintai Perairan Palembang dan Bangka Belitung
Baca Juga: Menelusuri Sejarah Rumah Lay, Cahaya Mutiara dari Pulau Bangka
Baca Juga: Arsip 1815: Gemuruh Erupsi Tambora Terdengar Sampai Bangka
Baca Juga: Ko Ngian: Imlek di Bangka, Harapan Baru Buang Debu-Debu yang Kotor
Sore itu kami bersama Ocha menuntaskan waktu di peternakan dan penangkaran lebah yang letaknya di dekat Batu Pelabo. Letak kawasannya masuk ke hutan. Jalanannya cukup parah karena tergenang hujan yang baru reda. Pintu masuknya berpagar hiasan botol bekas warna-warni.
Tempat ini awalnya hanya semak belukar, hingga beberapa warga berencana membudidayakan madu pada 2018. Beberapa warga tergabung dalam Kelompok Ternak Madu Nirun Mandiri Sejahtera yang diketuai Sutrisno.
Ada puluhan kotak madu terpasang di atas tiang setinggi pinggang. Sisanya, lebih banyak lagi, masih ada jauh di dalam hutan. Madu ini punya varian rasa, sebab mereka menanam berbagai bunga. Saat lebah membantu penyerbukan, rasa bunga itu terbawa dalam kandungan madu. “Lebah ini jadi indikator lingkungan masih bagus,” jelasnya. Jika “banyak madunya, berarti lingkungan di sekitarnya masih bagus dan segar.”
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR