Nationalgeographic.co.id—Sebuah laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa hanya dalam lima dekade air kemasan telah berkembang menjadi "sektor ekonomi utama dan berdiri sendiri". Hal ini berdasarkan analisis literatur dan data dari 109 negara.
Laporan ini menyebut industri air kemasan telah mengalami pertumbuhan 73% dari tahun 2010 hingga 2020. Penjualan produk ini diperkirakan hampir dua kali lipat pada tahun 2030, dari 270 miliar dolar AS menjadi 500 miliar dolar AS.
Dirilis beberapa hari sebelum Hari Air Sedunia (22 Maret), laporan oleh Institute for Water, Environment and Health bagian dari UN University (UNU-IWEH), ini menyimpulkan bahwa ekspansi tak terbatas dari industri air kemasan "tidak selaras secara strategis dengan tujuan menyediakan akses universal ke air minum" bagi warga dunia.
Indsutri air minum dalam gelas atau botol kemasan "setidaknya memperlambat kemajuan global dalam hal ini, mengganggu upaya pembangunan dan mengalihkan perhatian ke pilihan yang kurang dapat diandalkan dan kurang terjangkau bagi banyak orang, tetapi tetap sangat menguntungkan bagi produsen."
Direktur baru UNU-INWEH Ujar Kaveh Madani mengatakan, "Peningkatan konsumsi air kemasan mencerminkan kemajuan yang terbatas selama beberapa dekade dan banyak kegagalan sistem pasokan air publik."
Ketika Tujuan Pembangunan Berkelanjutan disepakati pada tahun 2015, Madani mencatat, para ahli di tempat lain memperkirakan investasi tahunan sebesar 114 miliar dolar AS diperlukan dari tahun 2015 hingga 2030 untuk mencapai target utama: air minum yang aman secara universal.
Laporan itu mengatakan menyediakan air bersih untuk sekitar 2 miliar orang tanpanya akan membutuhkan investasi tahunan kurang dari setengah 270 miliar dolar AS yang sekarang dihabiskan setiap tahun untuk air kemasan.
"Hal ini menunjukkan kasus global ketidakadilan sosial yang ekstrem, dengan miliaran orang di seluruh dunia tidak memiliki akses ke layanan air yang dapat diandalkan sementara yang lain menikmati kemewahan air."
Persepsi air keran
Studi tersebut mengutip survei yang menunjukkan air kemasan sering dianggap di Belahan Bumi Utara sebagai produk yang lebih sehat dan enak daripada air leding. Ini lebih merupakan barang mewah ketimbang kebutuhan.
Di Belahan Bumi Selatan, penjualan air minum kemasan didorong oleh kurangnya atau tidak adanya pasokan air publik yang dapat diandalkan dan keterbatasan infrastruktur pengiriman air akibat urbanisasi yang cepat.
Di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah, seperti dikutip dari keterangan tertulis UN University, konsumsi air kemasan terkait dengan kualitas air leding yang buruk dan sistem pasokan air publik yang seringkali tidak dapat diandalkan.
Masalah ini sering kali disebabkan oleh korupsi dan kurangnya investasi kronis dalam infrastruktur air pipa.
Baca Juga: Menurunnya Permukaan Air Tanah, Aliran Sungai Jadi Mencemari Air Minum
Baca Juga: Alat Seukuran Tas Kerja Ini Mampu Ubah Air Laut Jadi Air Minum
Baca Juga: Membuat Air Minum Aman, Ahli Kembangkan Metode Sederhana Memecah PFAS
Di sisi lain, perusahaan minuman mahir memasarkan air kemasan sebagai alternatif yang aman untuk air leding dengan menarik perhatian pada kegagalan sistem air publik yang terisolasi, kata peneliti UNU-INWEH dan penulis utama laporan ini, Zeineb Bouhlel.
Bouhlel menambahkan bahwa "bahkan jika di negara tertentu air pipa ada atau dapat berkualitas baik, memulihkan kepercayaan publik terhadap air lideng kemungkinan besar membutuhkan upaya pemasaran dan advokasi yang substansial."
Belum tentu aman
Menurut laporan tersebut, "komposisi mineral air kemasan dapat sangat bervariasi antara merek yang berbeda, dalam merek yang sama di negara yang berbeda, dan bahkan antara botol yang berbeda dari batch yang sama."
Laporan tersebut mencantumkan contoh dari lebih dari 40 negara di setiap wilayah dunia tentang kontaminasi ratusan merek air kemasan dan semua jenis air kemasan.
"Ulasan ini merupakan bukti kuat melawan persepsi yang menyesatkan bahwa air kemasan adalah sumber air minum yang tidak diragukan lagi aman," tegas Bouhlel.
Pembotolan air umumnya menghadapi pengawasan yang kurang dari utilitas air publik
Vladimir Smakhtin, mantan Direktur UNU-INWEH sekaligus penulis dalam laporan ini, menggarisbawahi temuan bahwa "air kemasan umumnya tidak diatur dengan baik dan diuji lebih jarang dan untuk parameter yang lebih sedikit."
"Standar kualitas air yang ketat untuk air keran jarang diterapkan untuk air kemasan, dan bahkan jika analisis semacam itu dilakukan, hasilnya jarang sampai ke domain publik."
Produsen air kemasan, katanya, sebagian besar telah menghindari pengawasan yang diberlakukan pemerintah pada utilitas air publik. Di tengah pertumbuhan pasar yang cepat, "mungkin lebih penting dari sebelumnya untuk memperkuat undang-undang yang mengatur industri secara keseluruhan, dan standar kualitas air khususnya."
Sehubungan dengan dampak lingkungan industri, laporan itu mengatakan ada "sedikit data yang tersedia pada volume air yang diambil, sebagian besar karena kurangnya transparansi dan landasan hukum yang akan memaksa perusahaan pembotolan untuk mengungkapkan informasi itu secara terbuka dan menilai konsekuensi lingkungan."
"Dampak lokal pada sumber daya air mungkin signifikan," kata laporan itu.
Di AS, misalnya, Nestlé Waters mengekstraksi 3 juta liter sehari dari Florida Springs. Di Prancis, Danone mengekstrak hingga 10 juta liter per hari dari Evian-les-Bains di Pegunungan Alpen Prancis. Adapun di Tiongkok, Hangzhou Wahaha Group mengekstrak hingga 12 juta liter setiap hari dari mata air Pegunungan Changbai.
Mengenai polusi plastik, para peneliti mengutip perkiraan bahwa industri air minum kemasan memproduksi sekitar 600 miliar botol dan wadah plastik pada tahun 2021, yang menghasilkan sekitar 25 juta ton limbah PET.
Sebagian besar limbah ini tidak didaur ulang dan dikirim ke tempat pembuangan akhir. Massa sampah plastik yang setara dengan berat 625.000 kali truk 40 ton itu, cukup untuk membentuk barisan truk dari New York ke Bangkok.
Menurut laporan tersebut, sektor air kemasan menggunakan 35% dari botol PET yang diproduksi secara global pada tahun 2019. Sebanyak 85% di antaranya berakhir di tempat pembuangan sampah atau limbah yang tidak diatur.
Laporan itu juga merinci bahwa lebih dari 1 juta botol air terjual di seluruh dunia setiap menitnya. Pengeluaran tahunan per orang di seluruh dunia untuk pembelian air botol kemasan adalah 34 dolar AS.
Konsumsi tahunan di seluruh dunia dari tiga jenis air kemasan utama—diolah, mineral, dan alami—diperkirakan mencapai 350 miliar liter. Adapun pendapatan air minum/air putih kemasan yang diperkirakan mencapai 1.225 triliun dolar AS mewakili 17 hingga 24% pasar global untuk semua jenis minuman kemasan non-alkohol.
Segmen pasar terbesar (dengan 47% dari penjualan global) adalah air kemasan yang diolah, yang dapat berasal dari sistem air publik atau air permukaan, dan yang menjalani perawatan desinfeksi seperti klorinasi.
Warga Asia-Pasifik adalah konsumen air kemasan terbesar, diikuti oleh Amerika Utara dan Eropa. Sebanyak 60% penjualan global berada di "Belahan Bumi Selatan", mencakup Asia-Pasifik, Afrika, Amerika Latin, dan Karibia.
Berdasarkan negara, AS merupakan pasar terbesar, dengan penjualan sekitar 64 miliar dolar AS, diikuti Tiongkok dengan hampir 45 miliar dolar AS, dan Indonesia dengan 22 miliar dolar AS atau sekitar Rp34 triliun. Bersama-sama, ketiga negara ini merupakan hampir setengah dari pasar dunia.
Daftar negara teratas lainnya berdasarkan penjualan air minum kemasan adalah Kanada, Australia, Singapura, Jerman, Thailand, Meksiko, Thailand, Italia, dan Jepang.
Harga rata-rata sebotol air di Amerika Utara dan Eropa adalah sekitar 2,50 dolar AS, lebih dari dua kali lipat harga di Asia (0,8 dolar AS), Afrika (0,9 dolar AS), serta Amerika Latin dan Kribia (1 dolar AS). Australia, pasar terbesar kelima, memiliki harga rata-rata tertinggi, yakni 3,57 dolar AS per unit.
Harga air kemasan per liter bisa 150 hingga 1.000 kali lebih mahal daripada harga yang dibebankan pemerintah kota untuk air leding.
Konsumen per kapita terbesar untuk air kemasan adalah warga Singapura dan Australia. Warga Singapura membelanjakan 1.348 dolar AS per kapita untuk air kemasan pada tahun 2021, warga Australia 386 dolar AS.
Menurut penelitian sebelumnya, sekitar 31% orang Kanada, 38% orang Amerika, dan 60% orang Italia menggunakan air kemasan sebagai sumber minuman utama mereka.
Di Republik Dominika, 60% rumah tangga menggunakan air kemasan sebagai sumber air utama mereka, dengan korelasi kuat antara pendapatan dan konsumsi air kemasan. Sekitar 80% orang Meksiko juga menggunakan air kemasan, dan 10% menggunakan air yang dimurnikan di rumah sebagai sumber air minum utama mereka.
Mesir adalah pasar dengan pertumbuhan tercepat untuk air kemasan yang diolah (40% per tahun). Tujuh negara lain dari Belahan Bumi Selatan termasuk di antara 10 pasar dengan pertumbuhan tercepat: Aljazair, Brasil, Indonesia, Uni Emirat Arab, India, Maroko, dan Arab Saudi.
Di Eropa, Jerman adalah pasar air kemasan terbesar; di Amerika Latin dan Karibia, Meksiko adalah pasar terbesar; di Afrika, pasar terbesarnya adalah Afrika Selatan.
Air yang diolah tampaknya menjadi komponen pasar terbesar berdasarkan volume, sedangkan air alami tampaknya menghasilkan keuntungan terbesar. Lima perusahaan—PepsiCo, Coca-Cola, Nestlé S.A., Danone S.A., dan Primo Corporation telah menggabungkan penjualan sebesar 65 miliar dolar AS, lebih dari 25% dari total global.
Studi sebelumnya tentang penarikan air yang diumumkan di India, Pakistan, Meksiko, dan Nepal menunjukkan perkiraan total penarikan atau penyedotan air oleh Coca-Cola dan Nestlé pada tahun 2021 masing-masing sebesar 300 dan 100 miliar liter.
Semua angka ini bermuara pada iklan dan pemasaran yang bagus: air kemasan lebih aman dan lebih menyehatkan daripada air leding. Juga dengan tawaran kepraktiksan untuk bisa meminumnya langsung ketimbang harus merebus air keran terlebih dulu.
Source | : | UN University |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR