Nationalgeographic.co.id—Sejauh mana leluhur Kota Yogyakarta memuliakan ragam puspa? Kita bisa memulainya dari Jalan Malioboro dengan petak-petak pecinannya yang menjadi tengara jantung keramaian kota. Seruas jalan yang kian memikat bagi para pelawat.
Ruas jalan utama ini seolah membelah gelumat jantung kota. Keberadaannya sekaligus menjadi bagian sumbu filosofis yang menautkan Gunung Merapi, Keraton, dan Laut Selatan.
Wajah Malioboro memang telah banyak berubah dibandingkan suasana foto-foto awal abad ke-20 yang menampilkan pohon-pohon asam di sepanjang tepiannya.
Peter Carey menyelisik asal-usul toponimi ini dalam "Jalan Maliabara ('Garland Bearing Street'): The Etymology and Historical Origins of a much Misunderstood Yogyakarta Street Name" yang terbit dalam jurnal Archipel, Volume 27, 1984. Seruas jalan ini berasal dari bahasa Sanksekerta, yakni malyabhara, demikian menurut Carey. Maknanya, untaian bunga-bunga atau karangan bunga.
Bolehlah kita memaknai ulang Jalan Malioboro secara sastrawi sebagai jalan sang raja yang berhias untaian bunga-bunga. Begitu mulia dan indah untuk sebuah nama jalan.
Kita kerap menautkan ragam puspa dengan keindahan karena tetumbuhan memiliki keunikan dan kecantikan, atau manfaat pengobatan nan istimewa. Di Yogyakarta, baik di dalam maupun di luar baluwarti Keraton, kita masih menjumpai sederet toponimi yang memuliakan nama tumbuhan.
Sejak awal pembangunan Keraton Yogyakarta, sang pendirinya telah memiliki prinsip dalam membangun kota untuk memperindah, menjaga, dan merawat kelestarian alam seisinya, atau dalam ungkapan Jawa sebagai memayu hayuning bawana.
Pangeran Mangkubumi, sang pendiri yang bertakhta sebagai Sultan Hamengkubuwana I, meresapi ungkapan filosofis ini sebagai dasar dalam membangun kota dan sesisinya. Demikianlah, kota ini telah dibangun dengan perencanaan yang memuliakan keindahan, keselarasan, dan kelestarian alam.
"Diskursus mengenai pelestarian alam secara terus-menerus dilontarkan sebagai isu di tengah kemajuan zaman," ujar Gusti Kanjeng Ratu Bendara selaku Penghageng KHP Nityabudaya. "Berbagai upaya dalam sektor formal dan swasta terus digencar untuk memberi solusi bagi Bumi yang makin rentan. Perihal ini menjadi perhatian pula bagi keraton, dalam membaca perubahan zaman."
Pernyataan itu ia sampaikan dalam pembukaan pameran bertajuk "Narawandira: Keraton, Alam, dan Kontinuitas" di Kagungan Dalem Bangsal Srimanganti. Lokasi pameran digelar pada 5 Maret 2023 sampai 27 Agustus 2023 di Kedhaton Keraton Yogyakarta. Pada pameran ini Keraton Yogyakarta menggandeng Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA) yang menampilkan keindahan seni lukis botani ragam puspa Keraton Yogyakarta.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR