Pohon tanjung (Mimusops elengi) dan pohon asam jawa (Tamarindus indica) ditanam sepanjang jalan antara Alun-alun Selatan sampai Panggung Krapyak. Bagi orang Jawa, pohon tanjung memiliki makna filosofis bahwa anak kecil membutuhkan 'sanjungan', sedangkan pohon asam—atau orang Jawa menyebutnya asem—melambangkan rasa 'sengsem' atau 'menyenangkan'. Moral ceritanya, masa kanak-kanak merupakan masa yang menyenangkan dan orang tua perlu untuk mendukung atau menyanjungnya.
Keraton memelihara vegetasi historis dan filosofis seperti asem, tanjung, gayam, beringin, kepel, hingga belimbing wuluh yang begitu dekat dengan kosmis masyarakat Jawa. "Hari ini Keraton tidak sekadar berbagi warisan vegetasi bernilai historis maupun filosofis," ungkap GKR Bendara. "Keraton pun mengambil peran melestarikan vegetasi dan menjaga vegetasinya agar tidak punah."
Ia menambahkan bahwa Keraton Yogyakarta secara berkelanjutan memproduksi pemanfaatan vegetasi dalam upacara-upacara hajat dalem. Bahkan, dalam dapur-dapur keraton yang menyajikan menu-menu makanan Sultan, para peracik menggunakan rempah dan rimpang.
Tanaman dan tata pemerintahan
Sri Sultan Hamengkubawana X dalam sambutan pembukaan pameran Narawandira memaparkan prinsip pelestarian leluhur Jawa yang menekankan pada aspek "tahu" dan "mengenali" alam.
Menurutnya, alam dan manusia memiliki hubungan integral yang saling mengikat dan tarik-menarik, sehingga selaras dengan filosofi hamemayu hayuning bawana—memperindah, menjaga, dan merawat kelestarian alam seisinya.
"Budaya Jawa kerap merefleksikan hubungan dengan alam sebagai sebuah kasualitas. Alam menjadi jawaban dari kebutuhan manusia dari wruh lan wanuh marang pertiwi. Di sisi lain alam sebagai bagian dari makrokosmos menghadirkan kerap memberi kejutan-kejutan bagi mereka yang acuh, tidak pernah asuh kepada buminya," ucap Sri Sultan.
Pada kesempatan itu Sri Sultan juga mengisahkan pengaruh tanaman padi dan tebu terhadap perjalanan pemerintahan Keraton Yogyakarta. Setelah pemulihan pasca-Perang Giyanti, beberapa dekade kemudian "penduduk berhasil menyulap lahan-lahan mereka menjadi tanah gemah ripah loh jinawi, thukul kang sarwo tinandur"—tanah subur ramai semarak, segala yang ditanam tumbuh.
Baca Juga: Seni Botani 'Flora of Southeast Asia' Memuliakan Kekayaan Ragam Puspa Asia Tenggara
Baca Juga: Ragam Flora Indonesia-3: Drama Tumbuhan dalam Napas Baru Seni Rupa Kini
Baca Juga: Telusur Riwayat Perkembangan Seni Ilustrasi Botani di Indonesia
Baca Juga: Kelindan Seni dan Sains dalam Mukjizat Kebinekaan Flora Indonesia
Setelah pembukaan hutan untuk pencetakan sawah dan kebun, tanaman tebu mulai merambahi Vorstenlanden pada abad ke-19, khususnya Yogyakarta. Sri Sultan melanjutkan kisahnya, pabrik gula pertama tercatat didirikan oleh orang Tionghoa pada 1835. Pabrik ini mampu menghasilkan 1.000 pikul gula—satu pikulnya setara 61,8 kilogram.
Produksi gula semakin meningkat menjadi 4.000 pikul, bersamaan dengan harga gula yang mulai naik pada 1846. Puncak produksi gula tebu terjadi pada 1866 sebanyak 64.500 pikul!
Berikutnya zaman pembukaan pintu penanaman modal pada 1870, terjadi investasi besar-besaran pada perkebunan swasta melalui pendirian pabrik gula. Bahkan, pada dekade pertama abad ke-20, setidaknya terdapat 17 pabrik gula di kota itu.
"Banyaknya pabrik gula di wilayah ini membuat Kasultanan Yogyakarta menjadi wilayah industri gula terbesar di waktu itu," ujarnya. Sultan Ketujuh juga turut menyewakan tanah-tanah lungguh sebagai lokasi pabrik gula, sekaligus andil dalam menanam modal di pabrik-pabrik gula.
Menurutnya, Keraton Yogyakarta "tidak sekadar melihat bahwa pertiwi dan seluruh hasilnya dapat dimanfaatkan terus-menerus, tetapi juga mereproduksinya dengan jalan pelestarian adiluhung." Pelestarian yang ia maksudkan itu bukan sekadar melestarikan tanamannya, tetapi juga "kearifan dari alam yang memenuhi ruang sakral dan profan dalam waktu yang bersamaan."
Sri Sultan berupaya mendorong sekaligus mengambil peran untuk menumbuhkan kembali kesadaran masyarakat agar menjaga kelestarian lingkungan. "Menjaga dan merawat keserasian dunia jadi tugas yang semestinya diemban oleh manusia seutuhnya seperti halnya judul pameran Narawandira—manusia yang menjadi agen kontinuitas alam."
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR