Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru telah menyoroti daerah yang kurang siap di seluruh dunia yang paling berisiko terkena dampak buruk dari suhu panas.
Penelitian yang dipimpin University of Bristol, menunjukkan bahwa suhu panas ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya dikombinasikan dengan kerentanan sosial ekonomi menempatkan daerah tertentu, seperti Afghanistan, Papua Nugini, dan Amerika Tengah, berada paling dalam bahaya.
Hasil studi ini telah diterbitkan di jurnal Nature Communications pada 25 April 2023 bertajuk “The most at-risk regions in the world for high-impact heatwaves.”
Negara-negara yang belum pernah mengalami gelombang panas paling intens seringkali sangat rentan, karena langkah-langkah adaptasi seringkali baru diperkenalkan setelah peristiwa tersebut dialami.
Kemungkinan besar suhu yang memecahkan rekor, pertumbuhan populasi, dan penyediaan layanan kesehatan juga energi yang terbatas, meningkatkan risikonya.
Beijing dan Eropa Tengah juga masuk dalam daftar hotspot, seolah-olah gelombang panas yang memecahkan rekor ini terjadi di daerah padat penduduk ini, jutaan orang akan terkena dampaknya.
Sehubungan dengan temuan tersebut, para peneliti menyerukan kepada pembuat kebijakan di daerah hotspot untuk mempertimbangkan rencana aksi yang relevan untuk mengurangi risiko kematian dan bahaya terkait dari iklim yang ekstrem ini.
"Karena gelombang panas lebih sering terjadi, kita perlu lebih siap. Kami mengidentifikasi wilayah yang sejauh ini mungkin beruntung. Beberapa di antaranya daerah yang memiliki populasi yang berkembang pesat, beberapa adalah negara berkembang, beberapa sudah sangat panas,” kata penulis utama, ilmuwan iklim Dr Vikki Thompson di University of Bristol Cabot Institute for the Environment.
“Kita perlu bertanya apakah rencana aksi suhu panas untuk daerah ini sudah cukup," tambahnya.
Para peneliti menggunakan statistik nilai ekstrim. Ini adalah sebuah metode untuk memperkirakan periode ulang peristiwa langka dan kumpulan data besar dari model iklim. Disertai juga pengamatan untuk menunjukkan dengan tepat wilayah secara global di mana catatan suhu kemungkinan besar akan dipecahkan paling cepat dan akibatnya komunitas berada dalam bahaya terbesar akan mengalami panas yang ekstrem.
Para peneliti juga mengingatkan bahwa secara statistik ekstrim ini tidak masuk akal, ketika rekor saat ini dipecahkan oleh margin yang tampaknya tidak mungkin sampai terjadi, bisa terjadi di mana saja.
Peristiwa yang tidak terduga ini ditemukan terjadi di hampir sepertiga wilayah (31 persen) yang dinilai di mana pengamatan dianggap cukup andal antara tahun 1959 dan 2021, seperti gelombang panas Amerika Utara Barat tahun 2021.
Baca Juga: Apa yang Terjadi Bila Keringat Kita Tak Lagi Efektif Lawan Suhu Panas?
Baca Juga: Kelembapan Udara Memperparah Dampak Gelombang Panas di Perkotaan
Baca Juga: Seruan Ilmuwan, 20.000 Kematian di Eropa Terkait Gelombang Panas
Baca Juga: Tahun Panas Bagi Indonesia: Gelombang Panas Ekstrem Asia dan El Nino
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Gelombang Panas Menghantam Dasar Lautan
"Kita harus siap menyelamatkan nyawa. Kami telah melihat beberapa gelombang panas yang paling tak terduga di seluruh dunia menyebabkan kematian terkait panas di puluhan ribuan. Dalam penelitian ini, kami menunjukkan bahwa peristiwa pemecahan rekor seperti itu dapat terjadi di mana saja. Pemerintah di seluruh dunia perlu bersiap," tegas rekan penulis Dann Mitchell, Profesor Ilmu Atmosfer di University of Bristol Cabot Institute for the Environment.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia menyebabkan peningkatan frekuensi, intensitas, dan durasi gelombang panas, yang berpotensi menyebabkan ribuan kematian berlebih secara global.
Dengan meningkatkan pemahaman kita tentang di mana masyarakat mungkin memang belum siap menghadapi iklim ekstrem ini dapat membantu memprioritaskan mitigasi di wilayah yang paling rentan.
Sebagai pengakuan atas konsekuensi berbahaya dari perubahan iklim, dibuktikan dengan karya para ahli iklimnya, pada tahun 2019 University of Bristol menjadi universitas Inggris pertama yang mendeklarasikan darurat iklim.
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR