Nationalgeographic.co.id—Namanya tercatat dalam sejarah kesehatan Indonesia. Bahkan, ketika pandemi yang menggemparkan dunia abad ini, namnya disebut-sebut kembali. Pasalnya, Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso menjadi pusat rujukan bagi pasien-pasien yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia.
Nama Prof. Dr. Sulianti Saroso begitu bersejarah karena disematkan sebagai nama Rumah Sakit Penyakit Infeksi. Gagasan ini merupakan bentuk penghormatan jasa besarnya dalam pembasmian wabah cacar. Di samping itu penghormatan diberikan karena ia juga berhasil meyakinkan Komisi Internasional WHO bahwa Indonesia telah terbebas dari penyakit cacar yang kala itu tengah melanda dunia.
Sulianti lahir pada tanggal 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali. Lahir sebagai anak kedua dari keluarga berdarah biru. Ayahnya, dokter Muhammad Sulaiman berasal dari Bagelen-Banyumas kerabat dekat dengan keluarga Soemitro Djojohadikusumo, pengurus dan pendiri Boedi Oetomo.
Sepanjang sejarah hidupnya, Sulianti Saroso beruntung selalu mendapat pendidikan terbaik. Pendidikan dasar berbahasa Belanda ia selesaikan di ELS (Europeesche Lagere School). Lalu melanjutkan pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung dan melanjutkan Pendidikan tinggi di Geneeskundige Hoge School (GHS). GHS adalah sebutan baru untuk Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia.
Lulus sebagai seorang dokter pada 1942, Sulianti Saroso bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta yang saat ini dikenal Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo.
Ia bekerja disana pada masa penjajahan Jepang hingga awal kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, sejarah mencatat, Sulianti menjadi dokter Republiken dan bekerja di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
Di Yogyakarta, ia aktif ikut dalam organisasi resmi Kowani, terjun sebagai dokter perjuangan, mengirimkan obat-obatan dan makanan bagi para pejuang republik. Ia terlibat dalam organisasi taktis seperti Wanita Pembantu Perjuangan dan Organisasi Putera Puteri Indonesia.
Sejarah tercipta pada 1947, ketika ia menjadi delegasi Kowani ke New Delhi menghadiri Konferensi Perempuan se-Asia untuk menggalang pengakuan resmi kemerdekaan Indonesia.
Pada akhir 1948, peristiwa sejarah mengguncang Ibu Kota Republik Indonesia. Pasukan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda menyerbu dan menduduki Yogyakarta, Sulianti masuk dalam daftar panjang pejuang kemerdekaan yang ditahan meringkuk di penjara selama dua bulan.
Setelah revolusi kemerdekaan, dokter Sulianti Saroso kembali bekerja di Kementerian Kesehatan. WHO memberikan beasiswa untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak. Certificate of Public Health Administration dari Universitas London ia dapatkan pada 1952.
Terence H. Hull dalam bukunya pada 2005 yang berjudul People, Population, and Policy in Indonesia menuliskan, "Dokter Sulianti memiliki pandangan yang maju dan memiliki kepedulian yang tinggi akan kesehatan ibu dan anak, walaupun pada saat itu gagasannya ditentang ia tidak menyerah," terangnya.
Source | : | Indonesia.go.id |
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR