Nationalgeographic.co.id—Permaisuri Nagako berhasil melewati trauma terbesar yang pernah terjadi di Kekaisaran Jepang. Ketika menikah, suaminya adalah Putra Surga, keturunan langsung ke-124 dari Dewi Matahari Amaterasu. Saat prosesi kekaisaran melewati jalan-jalan, daun jendela ditutup dan warga menundukkan kepala. Tidak ada yang diizinkan untuk melihat wajah kekaisaran.
Namun setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia kedua, Kaisar Hirohito terpaksa melepaskan keilahiannya. Sebagai manusia biasa, dia berkeliling negeri. Mengenakan setelan yang tidak pas, ribuan mata memandang kaisar dengan rasa ingin tahu.
Permaisuri Nagako menjadi contoh istri Jepang yang ideal. Ia selalu tersenyum dan diam, setia berada di belakang sang suami. Pernikahan Kaisar Hirohito dan Permaisuri Nagako adalah pernikahan terpanjang dalam sejarah Kekaisaran Jepang, berlangsung hampir 65 tahun.
Nagako adalah seorang wanita dengan karakter yang kuat. Putri tertua dari Pangeran Kuniyoshi Kuni, ia menjadi permaisuri Kekaisaran Jepang terakhir yang dipilih dari keluarga kekaisaran. Keluarga itu secara tradisional menyediakan pengantin untuk melanjutkan garis keturunan kekaisaran.
Bertentangan dengan tradisi, Hirohito diizinkan untuk memilih pengantinnya sendiri - meskipun dia sendiri tidak punya pilihan dalam hal ini. Pada usia 14 tahun, dia dipanggil ke istana kekaisaran. Di sana, para wanita bangsawan muda lainnya yang memenuhi syarat melakukan upacara minum teh. Sedangkan Hirohito menyaksikan upacara itu tanpa terlihat melalui lubang intip.
Perdana menteri Jepang saat itu, yang berasal dari klan saingan, merasa terancam dengan pilihan kaisar di masa depan. Ia berencana untuk membuatnya berubah pikiran. Sang perdana menteri mengeklaim bahwa, dari pihak ibunya, Nagako memiliki kerabat buta warna. Tapi Hirohito bersikeras; Nagako jelas bukan yang tercantik, tapi dialah yang diinginkan pangeran muda itu.
Pasangan itu menikah dengan kemegahan yang luar biasa pada tanggal 26 Januari 1924. Pada tahun 1926, Hirohito menjadi kaisar setelah kematian ayahnya.
Melahirkan putra dan ahli waris
“Bukan hanya menjadi istri kaisar, Nagako juga merupakan istri dari dewa yang hidup,” tulis Nicholas D. Kristof di laman The Washington Post. Keduanya tampaknya telah menjalani hidup mereka dengan “naskah sulit” untuk tugas dan tanggung jawab lebih dari untuk kesenangan.
Sebagai permaisuri, tanggung jawab utamanya adalah menghasilkan seorang putra dan ahli waris Kekaisaran Jepang. Ini bukan tanggung jawab yang mudah. Bahkan ayah dan kakek Hirohito pernah memiliki sekumpulan selir agar memiliki keturunan laki-laki.
Ternyata Kaisar Hirohito berbeda. Ia membuat keputusan luar biasa untuk membatasi dirinya pada istrinya dan memecat 39 selir istana.
Namun setelah hampir 10 tahun menikah, pasangan itu belum dikarunia seorang putra. Padahal Nagako telah melahirkan empat anak perempuan—salah satunya meninggal saat masih bayi.
Di luar gerbang istana, kekaisaran menjadi semakin tidak stabil. Di kalangan militer, ada pembicaraan untuk menggulingkan Hirohito dan menggantikannya dengan saudara laki-lakinya yang memiliki banyak putra.
Para staf kekaisaran menekan kaisar untuk membawa kembali para selir. Hirohito tetap tidak tergerak. Pada tahun 1933, Nagako mengandung lagi dan melahirkan calon Kaisar Akihito. Ada perayaan meriah di seluruh Kekaisaran Jepang untuk menyambut kelahiran sang putra mahkota. Putra kedua pun menyusul setelah itu.
Selama Perang Dunia kedua, Nagako berperan sebagai ibu yang berbakti kepada rakyatnya. Terkurung di istana kekaisaran, dia menghabiskan waktunya menggulung perban dan merajut syal untuk para jenderal. Sang permaisuri bahkan menulis surat belasungkawa pribadi kepada keluarga yang ditinggalkan.
Sebagai dewa yang hidup di Kekaisaran Jepang, Kaisar Hirohito memiliki kekuatan yang relatif kecil. Bahkan keputusan sehari-hari dibuat oleh pejabat kekaisaran yang suka memerintah.
Ketika Akihito berusia 3 tahun, dia diambil dari orang tuanya. Ia dibesarkan oleh pengasuh yang memperlakukannya dengan lebih hormat daripada kehangatan. Putranya tampaknya memiliki masa kecil yang sangat kesepian. Tapi Nagako tidak pernah mengeluh di depan umum tentang perpisahan itu.
Dengan berakhirnya perang, rumah Kekaisaran Jepang memasuki abad ke-20. Di bawah perintah pasukan pendudukan Amerika, Hirohito mengumumkan bahwa dia tidak lagi dianggap sebagai dewa.
Kekaisaran Jepang mengalami perubahan setelah perang dan sang permaisuri harus beradaptasi. Seorang pengajar Amerika datang untuk mengajar Putra Mahkota Akihito dan Nagako sendiri mengambil pelajaran bahasa Inggris.
Nagako pernah menggambarkan tahun-tahun perang sebagai “masa tersulit dalam hidupnya”. Setelah perang, ada ketidakpastian apakah Amerika akan mengeksekusi Hirohito atau setidaknya memaksanya untuk turun takhta. Tetapi Amerika Serikat memutuskan untuk menyalahkan perang pada para pemimpin lain, seperti Perdana Menteri Hideki Tojo.
Hirohito diizinkan untuk tetap menjadi kaisar selama dia menyerahkan keilahiannya.
Bagi Kekaisaran Jepang dan rakyatnya, perang menjadi salah satu trauma terbesar.
Berlainan dengan tradisi lama, Akihito memilih menikah dengan orang biasa, Michiko Shoda. Ia adalah putri seorang industrialis terkemuka. Pilihannya itu membuat rakyat Jepang terpesona. Sayangnya Nagako tidak setuju akan pilihan sang putra.
Tahun-tahun terakhir sang permaisuri
Dia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di istana Kekaisaran Jepang. Bagi orang Jepang yang lebih tua, Nagako adalah sosok yang mirip dengan Ibu Ratu Elizabeth II dari Kerajaan Inggris - ramah, murah senyum, dan sangat dicintai.
Seiring bertambahnya usia, kesehatannya pun semakin menurun. Dia menjadi terikat kursi roda dan tidak dapat menghadiri pemakaman suaminya pada tahun 1989. Ia dikabarkan menderita penyakit Alzheimer di akhir hidupnya.
Sementara kematian Hirohito pada tahun 1989 menandai akhir dari sebuah era, Nagako mewakili mata rantai terakhir dengan Jepang kuno.
Ia bahkan menjadi janda permaisuri yang paling lama hidup, memecahkan rekor Permaisuri Kanshi, yang meninggal 921 tahun lalu. Menghembuskan napas terakhirnya di usia 97 tahun, Permaisuri Nagako berhasil melalui trauma terbesar yang dialami Kekaisaran Jepang.
Source | : | The Washington Post,Irish Time |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR