Nationalgeographic.co.id - Penelitian baru dari ilmuwan University of Waterloo telah menunjukkan masih ada kesenjangan dan ketidaksetaraan dalam aksi perubahan iklim. Para peneliti mencoba merancang rencana aksi perubahan iklim untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
Rincian penelitian baru tersebut telah mereka jelaskan di jurnal Planning Theory & Practice belum lama ini. Jurnal tersebut diterbitkan dengan judul "Centering Equity and Justice in Participatory Climate Action Planning: Guidance for Urban Governance Actors" yang bisa diperoleh secara daring.
Seperti diketahui, rencana aksi perubahan iklim di perkotaan sering kali mengidentifikasi pemerataan dan keadilan sebagai tujuan, tetapi keterlibatan dengan konsep-konsep ini sebagian besar hanya bersifat retoris.
Penelitian baru dari University of Waterloo ini, merinci bagaimana perencana dapat menjembatani kesenjangan dan menantang keadaan perubahan iklim dan ketidaksetaraan sosial saat ini.
Studi tersebut menegaskan bahwa mengembangkan pendekatan partisipatif untuk konsultasi publik dan keterlibatan masyarakat yang secara aktif adalah sangat penting.
Kemudian, mereka juga menambahkan perlu untuk sengaja melibatkan populasi rentan yang paling terkena dampak perubahan iklim.
Memperluas lingkup pengetahuan yang kita pertimbangkan ketika berbicara tentang perubahan iklim, menurut mereka, telah membentuk ulang pertanyaan yang diajukan dan solusi serta alternatif yang mungkin untuk didiskusikan.
“Komunitas tata kelola kota tidak sejelas yang seharusnya tentang kebutuhan untuk memprioritaskan penduduk yang rentan selama proses pengambilan keputusan tentang perubahan iklim,” kata Kayleigh Swanson, kandidat PhD di School of Planning Waterloo.
“Akibatnya, suara orang-orang yang mengalami berbagai bentuk penindasan sebagian besar dikecualikan dari apa yang disebut proses perencanaan aksi perubahan iklim partisipatif.”
Dalam mengejar metode partisipatif, penelitian ini menyarankan para praktisi untuk selalu mengingat empat tindakan. Yang pertama adalah memodifikasi strategi secara konsisten, kemudian merancang ruang kolaboratif yang mengenali berbagai cara untuk mengetahui.
Selanjutnya mengatasi kesenjangan antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan, dan memperhatikan proses sosial yang mendasarinya yang dapat mendorong kerentanan terhadap perubahan iklim.
“Menantang status quo bukanlah tugas yang mudah, tetapi bukti menunjukkan bahwa tindakan atau aksi perbahan iklim lebih efektif jika dirancang dan diterapkan dengan keterlibatan aktor lokal,” kata Dr. Mark Seasons, profesor di School of Planning Waterloo.
“Aktor tata kelola perkotaan dapat memengaruhi kondisi yang menentukan apakah orang dapat berpartisipasi secara efektif dan membantu membingkai isu-isu penting yang sedang dipertimbangkan oleh para pembuat keputusan.”
Membangun proses perencanaan inklusi merupakan tantangan besar bagi para pelaku tata kelola kota, tetapi proses ini diperlukan untuk mewujudkan hasil distribusi yang adil.
Pengecualian berisiko menciptakan tiga ketidakadilan di mana mereka yang berkontribusi paling sedikit terhadap perubahan iklim diposisikan paling menderita akibat dampaknya.
Hal itu, lanjutnya, secara tidak proporsional dipengaruhi oleh kebijakan aksi perubahan iklim yang memperburuk tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang sudah dihadapi kelompok tersebut.
Aksi Perubahan Iklim
Menurut PBB, Perubahan iklim sekarang memengaruhi setiap negara di setiap benua. Itu mengganggu ekonomi nasional dan memengaruhi kehidupan, merugikan orang, komunitas, dan negara hari ini dan bahkan lebih banyak lagi di masa depan.
Orang-orang mengalami dampak signifikan dari perubahan iklim, yang meliputi perubahan pola cuaca, naiknya permukaan laut, dan peristiwa cuaca yang lebih ekstrem.
Emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia mendorong perubahan iklim dan terus meningkat. Mereka sekarang berada di level tertinggi dalam sejarah.
Tanpa tindakan atau aksi, suhu permukaan rata-rata dunia diproyeksikan akan meningkat selama abad ke-21 dan kemungkinan akan melampaui 3 derajat celsius pada abad ini.
Dengan beberapa wilayah di dunia diperkirakan akan lebih panas lagi. Orang-orang yang paling miskin dan paling rentan yang paling terpengaruh.
Memajukan pemerataan dan keadilan dalam perencanaan aksi iklim (CAP) menghadirkan tantangan besar bagi para pelaku tata kelola perkotaan.
Penelitian ini adalah upaya untuk membantu menyusun aksi perubahan iklim, dengan memberikan panduan yang diperlukan dan praktis untuk mengembangkan pendekatan partisipatif.
Pada gilirannya membantu perencana menghindari mengabadikan sistem pengetahuan yang dominan dan intervensi perencanaan yang sesuai yang telah membawa kita ke keadaan perubahan iklim dan ketidakadilan sosial saat ini.
Memajukan pemerataan dan keadilan dalam CAP membutuhkan praktik refleksif dan partisipatif yang memusatkan penduduk yang rentan dan mendukung komunikasi lintas perbedaan dalam posisi sosial dan sistem makna.
Tindakan ini membutuhkan perhitungan yang lebih lengkap dari proses sosial mendasar yang mendorong kerentanan terhadap perubahan iklim.
Seperti diketahui, untuk mengatasi perubahan iklim, saat ini, negara-negara di dunia telah mengadopsi Perjanjian Paris pada COP21 di Paris.
Dalam perjanjian tersebut, semua negara sepakat untuk berupaya membatasi kenaikan suhu global hingga jauh di bawah 2 derajat celsius, dan mengingat risikonya yang besar, untuk mengupayakan 1,5 derajat celsius.
Implementasi Perjanjian Paris sangat penting untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan menyediakan peta jalan untuk aksi iklim yang akan mengurangi emisi dan membangun ketahanan iklim.
Source | : | University of Waterloo,Planning Theory & Practice |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR