Nationalgeographic.co.id - Pertengahan 1800-an adalah masa yang penuh dengan kekacauan di Kekaisaran Jepang. Saat itu, terjadi perubahan kekuasaan dari samurai ke Kaisar Jepang. Perseteruan itu membuat para samurai akhirnya menghilang selamanya dari Kekaisaran Jepang. Di antara banyak pertempuran, perjuangan memilukan para 19 samurai muda “Byakkotai” terus dikenang hingga kini.
Selama 264 tahun Era Edo (1603–1867), Kekaisaran Jepang diperintah oleh Shogun Tokugawa. Tahun-tahun kontrol ketat itu adalah masa yang relatif damai. Perbatasan ditutup. Interaksi asing terbatas pada beberapa kota pelabuhan yang diatur dengan ketat. “Yang paling terkenal adalah Dejima, pulau kecil buatan manusia di lepas pantai Kota Nagasaki,” tulis Diane Neill Tincher di laman More Than Tokyo.
Pada tahun 1854, Kekaisaran Jepang terguncang oleh perjanjian pertamanya dengan kekuatan Barat. Saat itu, shogun menyerah pada kekuatan mengintimidasi dari Komodor Perry dan kapal perang Amerikanya. Pintu air terbuka untuk perdagangan dan pengaruh Barat.
Pada tahun 1867, Shogun Tokugawa terakhir, Yoshimune, secara resmi mengundurkan diri. Secara seremonial, ia mengembalikan pemerintahan negara kepada kaisar, Pangeran Mutsuhito yang berusia 14 tahun. Kelak kaisar itu dikenal dengan sebutan Kaisar Meiji.
Tidak semua orang senang dengan perubahan ini.
Sekelompok samurai tak bertuan, yang disebut shishi atau patriot, berunjuk rasa untuk tujuan “Hormati kaisar, usir orang barbar”.
Domain pun saling berpihak. Itu adalah domain yang mendukung pemerintahan baru kaisar dan terbuka untuk pengaruh Barat. Satu lagi adalah domain yang ingin mempertahankan samurai atau shogun yang memimpin Kekaisaran Jepang.
Perang saudara pecah pada Januari 1868. Tokugawa Yoshimune memimpin pasukan melawan Kyoto dan dikalahkan oleh pasukan Satsuma dan Choshu. Berada di Provinsi barat, pasukan itu adalah andalan kekaisaran.
Pertempuran berlanjut ke Edo, tempat pemimpin Satsuma, Saigo Takamori, merundingkan penyerahan Kastel Edo. Dengan kekalahan Edo, Yoshimune menyerah dan pensiun ke Shizuoka.
Meski sudah kalah, para loyalis Tokugawa tetap bertahan. Medan pertempuran bergerak ke utara, ke domain Aizu, di Fukushima. Di sanalah para samurai muda “Byakkota” mengorbankan jiwanya.
Byakkotai, unit Harimau Putih
21 putra berusia 16–17 tahun dari samurai lokal membentuk kelompok Harimau Putih “Byakkotai”. Itu adalah salah satu unit tentara Aizu.
Setelah melarikan diri dari kekalahan dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah baru, mereka berjalan melalui terowongan ke Bukit Iimori. Bukit itu menghadap ke Kastel Aizu. Di sana mereka menunggu perintah dan merawat samurai lain yang terluka setelah bertempur.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR