Sebelum lele, menurut Caleb, naga atau ular lebih umum dikaitkan dengan gempa bumi. Karena naga dikaitkan dengan air dalam tradisi Tiongkok dan Jepang, “tidaklah melompat terlalu jauh bahwa naga menyebabkan gempa bumi di kedalaman air berubah menjadi ikan lele menyebabkan gempa bumi dalam imajinasi populer Jepang pra-modern.”
Pada abad ke-19, tampaknya ikan lele raksasa telah menggantikan naga sebagai agen utama di balik gempa bumi di Kekaisaran Jepang.
Ada kemungkinan bahwa legenda Namazu juga muncul dari klaim para nelayan Jepang. Ikan lele dipercayai memiliki kemampuan untuk memprediksi gempa bumi.
Pada pertengahan abad ke-19, setelah gempa bumi Ansei Edo pada tahun 1855, seorang nelayan Jepang mengklaim bahwa ia melihat ikan lele bertingkah aneh tepat sebelum gempa bumi.
Cerita serupa juga muncul dari nelayan Jepang , ketika tsunami (ombak pasang) terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Gagasan bahwa ikan lele mampu meramal gempa menarik para peneliti Jepang untuk memeriksanya. Caleb menerangkan, pada tahun 1930-an, seorang ilmuwan Jepang mengklaim bahwa ia telah mengamati ikan lele meramalkan hingga 100 gempa bumi.
“Paling tidak, katanya, gempa bumi selalu terjadi dalam waktu 12 jam setelah ikan lele berenang dengan cara tertentu,” jelas Caleb.
Pulau-pulau di Jepang merupakan bagian dari sistem busur benua di mana lempeng Pasifik dan lempeng Filipina disubduksi di bawah lempeng Eurasia. Akibatnya, gempa bumi telah menjadi bagian dari perjalanan hidup manusia di kepulauan ini sejak dahulu kala.
Melihat hal tersebut, tidak mengherankan jika makhluk kosmik penyebab gempa bumi adalah tema umum dalam mitologi Jepang.
Sementara mitologi Jepang menyatakan bahwa ikan lele raksasa secara harfiah menyebabkan gempa bumi, para intelektual Jepang cenderung menganggap Namazu hanya sebagai metafora.
Namazu sebagai Penengah Keadilan Kosmik
Setelah pertengahan abad ke-19, Namazu juga menjadi semakin dikaitkan dengan komentar politik dan kritik terhadap pemerintah Jepang. Salah satu alasannya adalah akibat dari gempa bumi Ansei Edo tahun 1855.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR