Berbeda dengan hubungan yang sudah mapan antara pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan iklim, studi tentang titik kritis adalah ilmu yang masih baru dan kontroversial.
Untuk memahami bagaimana kenaikan suhu dan tekanan lingkungan lainnya dapat menyebabkan kerusakan ekosistem yang kompleks, para ilmuwan menggunakan model komputer untuk menyederhanakan dinamika ekosistem.
Hal itu memungkinkan para ilmuwan memprediksi nasib ekosistem tersebut dan kapan titik kritisnya dapat dicapai.
Tetapi jika simulasi ini melewatkan elemen atau interaksi penting, ramalannya dapat meleset selama beberapa dekade.
Misalnya, yang dijelaskan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, badan terpenting PBB untuk mengevaluasi ilmu iklim, dalam laporan terbarunya.
Menurut panel itu, bahwa hutan hujan Amazon dapat mencapai titik kritis yang akan mengubahnya menjadi sabana pada tahun 2100.
Para peneliti di balik studi baru mengatakan prediksi ini terlalu optimis.
Menurut para peneliti, sebagian besar studi titik kritis membangun matematika dalam model mereka untuk fokus pada satu penyebab utama keruntuhan. Misalnya penggundulan hutan di hutan hujan Amazon.
Namun, ekosistem tidak bersaing hanya dengan satu masalah melainkan segerombolan faktor destabilisasi yang saling memperumit. Misalnya, Amazon juga menghadapi kenaikan suhu, degradasi tanah, polusi air, dan tekanan air.
Para ilmuwan di balik studi baru ini membangun model komputer dari dua danau dan dua ekosistem hutan. Termasuk yang memodelkan keruntuhan peradaban di Pulau Paskah dan menjalankannya lebih dari 70.000 kali sambil menyesuaikan seluruh variabel.
Model itu dibuat untuk menyelidiki bagaimana elemen-elemen ini berinteraksi dan apakah interaksi ini dapat, pada kenyataannya, mempercepat kehancuran suatu sistem.
Source | : | Nature,Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR