Nationalgeographic.co.id—Penelitian baru dari ilmuwan Inggris menunjukkan potensi malapetaka akibat perubahan iklim di masa akan datang. Menurut penelitian baru tersebut, malapetaka akibat perubahan iklim dapat terjadi hanya dalam 15 tahun dari sekarang.
Menurut peneliti, "Titik kritis" iklim, seperti hilangnya hutan hujan Amazon atau runtuhnya lapisan es Greenland, bisa terjadi dalam masa hidup manusia.
Ekosistem bumi mungkin menuju keruntuhan jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan para ilmuwan. Penelitian baru tentang perubahan iklim di planet kita telah memperingatkan.
Menurut penelitian baru ini, lebih dari seperlima dari titik kritis dunia yang berpotensi bencana dapat terjadi paling cepat tahun 2038. Titik kritis itu seperti mencairnya permafrost Arktik, runtuhnya lapisan es Greenland dan transformasi tiba-tiba hutan hujan Amazon menjadi sabana.
Dalam klimatologi, "titik kritis" adalah ambang batas di mana sistem iklim lokal, atau "elemen kritis", berubah secara permanen.
Misalnya, jika lapisan es Greenland runtuh, itu juga akan mengurangi hujan salju di bagian utara pulau. Sehingga membuat sebagian besar lapisan itu tidak dapat diperbaiki.
Namun ilmu di balik transformasi dramatis ini kurang dipahami dan seringkali didasarkan pada model komputer yang terlalu disederhanakan.
Sekarang, upaya baru untuk memahami cara kerja batin mereka telah mengungkapkan bahwa hal itu mungkin terjadi lebih cepat dari yang kita duga.
Temuan itu telah dijelaskan dan diterbitkan belum lama ini di jurnal Nature. Jurnal tersebut berjudul "Earlier collapse of Anthropocene ecosystems driven by multiple faster and noisier drivers" dan merupakan jurnal akses terbuka.
"Lebih dari seperlima ekosistem di seluruh dunia berada dalam bahaya kehancuran," kata rekan penulis Simon Willcock dalam sebuah pernyataan.
Willcock adalah seorang profesor keberlanjutan di University of Bangor di Inggris. "Namun, tekanan yang sedang berlangsung dan kejadian ekstrem berinteraksi untuk mempercepat perubahan cepat yang mungkin di luar kendali kita. Begitu ini mencapai titik kritis, semuanya sudah terlambat."
Berbeda dengan hubungan yang sudah mapan antara pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan iklim, studi tentang titik kritis adalah ilmu yang masih baru dan kontroversial.
Untuk memahami bagaimana kenaikan suhu dan tekanan lingkungan lainnya dapat menyebabkan kerusakan ekosistem yang kompleks, para ilmuwan menggunakan model komputer untuk menyederhanakan dinamika ekosistem.
Hal itu memungkinkan para ilmuwan memprediksi nasib ekosistem tersebut dan kapan titik kritisnya dapat dicapai.
Tetapi jika simulasi ini melewatkan elemen atau interaksi penting, ramalannya dapat meleset selama beberapa dekade.
Misalnya, yang dijelaskan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, badan terpenting PBB untuk mengevaluasi ilmu iklim, dalam laporan terbarunya.
Menurut panel itu, bahwa hutan hujan Amazon dapat mencapai titik kritis yang akan mengubahnya menjadi sabana pada tahun 2100.
Para peneliti di balik studi baru mengatakan prediksi ini terlalu optimis.
Menurut para peneliti, sebagian besar studi titik kritis membangun matematika dalam model mereka untuk fokus pada satu penyebab utama keruntuhan. Misalnya penggundulan hutan di hutan hujan Amazon.
Namun, ekosistem tidak bersaing hanya dengan satu masalah melainkan segerombolan faktor destabilisasi yang saling memperumit. Misalnya, Amazon juga menghadapi kenaikan suhu, degradasi tanah, polusi air, dan tekanan air.
Para ilmuwan di balik studi baru ini membangun model komputer dari dua danau dan dua ekosistem hutan. Termasuk yang memodelkan keruntuhan peradaban di Pulau Paskah dan menjalankannya lebih dari 70.000 kali sambil menyesuaikan seluruh variabel.
Model itu dibuat untuk menyelidiki bagaimana elemen-elemen ini berinteraksi dan apakah interaksi ini dapat, pada kenyataannya, mempercepat kehancuran suatu sistem.
Para ilmuwan kemudian menguji sistem mereka di berbagai mode dengan hanya satu penyebab keruntuhan yang terjadi.
Kemudian mereka juga mengujinya dengan berbagai penyebab yang terjadi. Selanjutnya dengan semua penyebab ditambah variabel acak untuk meniru fluktuasi dalam variabel perubahan iklim.
Setelah itu, para ilmuwan kemudian membuat beberapa temuan yang meresahkan. Berbagai penyebab keruntuhan bertindak bersama, dan membawa transformasi mendadak dari beberapa sistem hingga 80% lebih dekat ke hari ini.
Dan bahkan ketika penyebab utama keruntuhan tidak dibiarkan meningkat seiring waktu, 15% keruntuhan terjadi murni karena unsur-unsur baru.
"Temuan utama kami dari empat model ekologis adalah bahwa ekosistem dapat runtuh 30-80% lebih awal tergantung pada sifat tekanan tambahan," kata rekan penulis John Dearing.
Dearing adalah seorang profesor geografi fisik di University of Southampton di Inggris.
"Jadi, jika titik kritis sebelumnya diramalkan untuk tahun 2100 (yaitu 77 tahun dari sekarang), kami menyarankan ini bisa terjadi 23 hingga 62 tahun lebih awal tergantung pada sifat tekanannya."
Ini berarti bahwa biaya sosial dan ekonomi yang signifikan dari perubahan iklim mungkin datang lebih cepat dari yang diharapkan. Sehingga hal itu membuat pemerintah memiliki lebih sedikit waktu untuk bereaksi daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Source | : | Nature,Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR