Paparan radiasi terus-menerus karena bekerja dekat dengan bahan peledak beracun ini, telah mengubah kulit para pekerja wanita ini menjadi warna oranye terang. Inilah mengapa para wanita itu dijuluki dengan sebutan "Canary Girls".
Para wanita yang bekerja di pabrik-pabrik perang ini dibujuk untuk tetap bekerja dengan tawaran gaji yang tinggi, dua kali lipat dari apa yang diterima pria biasa dengan pekerjaan yang sama-sama mematikannya.
Saat perang terus berkembang, permintaan menjadi semakin tinggi dengan artileri menjadi salah satu senjata utama yang digunakan dalam perang parit. Para wanita ini pada gilirannya memikul kerja yang lebih keras lagi dengan bekerja lebih dari 14 jam sehari.
"Hingga pada tahun 1917, permintaan begitu tinggi sehingga pabrik-pabrik perang bahkan mempekerjakan gadis di bawah umur, yakni yang masih berusia 14 tahun untuk memproduksi amunisi," terusnya.
Semua ini menyebabkan dampak paparan terhadap TNT yang lebih besar lagi. Setelah perang, banyak bayi yang baru lahir dari rahim para Canary Girl dilaporkan lahir dengan pigmen kulit oranye, menunjukkan betapa beracunnya zat tersebut.
Pada usia senjanya, Canary Girl mengeluhkan masalah kesehatan yang telah didiagnosis berasal dari zat beracun yang telah mereka gunakan selama empat tahun. Namun, ada masalah yang lebih besar.
Terjadi insiden besar di Pabrik Pengisian amunisi Nasional No.6, dekat Chilwell. Dilaporkan beberapa bahan peledak ditemukan meledak. Insiden tersebut menyebabkan kematian 130 pekerja wanita.
Dikatakan bahwa selama Perang Dunia I, dua wanita meninggal setiap minggu di pabrik perang karena kecelakaan kerja atau bahkan keracunan bahan kimia. Namun, ironi sepanjang sejarah Perang Dunia I terus berlanjut.
Keracunan bahan kimia dan TNT menjadi masalah umum yang sering disebutkan dalam jurnal medis di awal abad ke-20, utamanya sepanjang sejarah Perang Dunia I.
Secara data empirik, baik para pria yang bekerja dengan senjatanya, maupun wanita yang bekerja untuk amunisi, dilaporkan hanya 24% pekerja saja yang tidak menunjukkan gejala keracunan TNT (berdasarkan tes darah). Selebihnya (76%) dianggap tidak keracunan.
Para wanita ini terbelenggu oleh pemikiran suami mereka yang mengandalkan amunisi dan senjata yang mereka hasilkan. Terlepas dari kondisi kerja yang memprihatinkan, mereka harus tetap bekerja jika ingin suami dan anak laki-laki mereka pulang secepat mungkin.
Source | : | History of Yesterday |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR