Nationalgeographic.co.id—Prajurit Sparta, samurai Kekaisaran Jepang, serta Suku Sioux hidup di zaman yang berbeda. Namun ketiganya memiliki kesamaan dalam hal etos prajurit.
Etos prajurit didefinisikan oleh Akademi Angkatan Udara AS sebagai perwujudan semangat prajurit. Ethos adalah turunan dari kata Yunani yang sama untuk etika. Bagi prajurit, etos terdiri dari kode etik yang memandu nilai dan tindakannya.
Kode etik ini sering kali merupakan kode lisan, diturunkan dari satu prajurit ke prajurit berikutnya. Etos prajurit menentukan bagaimana seorang prajurit harus bersikap terhadap musuh-musuhnya.
Selain itu juga bagaimana ia harus berhubungan dengan rakyatnya dan mengatasi kelemahannya sendiri. Etos prajurit adalah filosofi yang harus menyeimbangkan dorongan agresi aktif dengan pengendalian diri secara sukarela.
Terlepas dari perbedaan budaya dan era yang signifikan, kesamaan dalam etos prajurit menyebar. Mulai dari Sparta di Yunani kuno, samurai di Kekaisaran Jepang, hingga pemanah berkuda Lakota Sioux di Amerika.
Masing-masing budaya ini secara teratur terlibat dalam peperangan dan tidak asing dengan pertarungan tangan kosong. Masing-masing mengembangkan etos unik untuk konteks geopolitik mereka, namun dengan kesamaan yang mencolok.
Berikut adalah tiga kesamaan yang dimiliki Sparta, samurai, dan Sioux.
Kehormatan dan jalan kematian
Lakota Sioux adalah pemanah yang fenomenal. Kehormatan pribadi sangat menentukan bagaimana perang dilakukan dengan menuntut demonstrasi keberanian dan keterampilan.
Praktik penghitungan kudeta yang terkenal menduduki puncak daftar tindakan medan perang yang mengesankan. Prajurit Sioux mendekati dan menyentuh musuh secara fisik tanpa menyebabkan terluka.
“Setiap kudeta yang berhasil dihadiahi bulu elang dan status kehormatan yang lebih tinggi di antara para prajurit,” tulis Andria Pressel di laman The Collector. Dalam melakukan kudeta, prajurit Sioux secara sukarela mempertaruhkan nyawa demi kehormatan pribadi.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR