Nationalgeographic.co.id—Sejarah Perang Dunia II merupakan bencana, sekaligus hal paling konyol, dalam sejarah kemanusiaan. Jutaan nyawa melayang, sumber daya alam dieksploitasi habis-habisan demi kebutuhan perang, dan keuangan setiap negara yang terkuras selama sejarah Perang Dunia II.
Sebelumnya, kita telah membahas berbagai operasi dan pertempuran paling konyol dalam sejarah Perang Dunia II, baik di kancah Eropa maupun sekitar Pasifik. Tidak hanya itu, karena kekonyolan sejarah Perang Dunia II juga terletak dalam strategi politik-militernya.
Beberapa tokoh pembesar Blok Poros seperti Hideki Tojo, Adolf Hitler, dan Benito Mussolini, tidak punya strategi besar, yang semestinya membawakan kemenangan. Mereka menyandarkan pada ideologi, sehingga tujuannya tidak jelas dalam beberapa pertempuran, yang justru membawa petaka.
Mereka memilih musuh yang sama: AS, negara kapitalis untuk diseret ke dalam kancah sejarah Perang Dunia II.
Dalam sejarah Perang Dunia I, Amerika Serikat jelas telah mengambil sikap mendukung blok Sekutu. Ketika Perang Dunia II pecah tahun 1939, mereka belum ambil sikap, karena serangan Blok Poros hanya menyasar negara-negara penguasa Eropa, yang sebenarnya sekutu AS juga.
Posisi adem-ayem AS terusik secara frontal pada Desember 1941. Pada tanggal 7 Desember, Kekaisaran Jepang, melancarkan serangan udara mendadak terhadap Armada Pasifik AS di Pearl Harbor, Hawaii.
Ideologi Kekaisaran Jepang saat itu ingin membebaskan kawasan Asia dari cengkeraman kulit putih, termasuk di Pasifik. Berangsur-angsur, mereka merebut pula koloni Inggris seperti di Myanmar dan Malaysia, koloni Prancis seperti di Vietnam, dan Belanda di Indonesia. Sebagai bangsa kulit putih di tanah non-kulit putih di Pasifik, AS harus diserang.
Posisi AS semakin kuat menjadi musuh Blok Poros di tanggal 11 Desember. Nazi Jerman atas perintah Hitler menyatakan perang terhadap AS.
Awalnya di tahun 1941, opini publik di AS menentang keterlibatan dalam Perang Dunia II. Bahkan, Presiden Franklin D. Roosevelt yang merupakan pro-perang, tahu bahwa terlibat dalam perang, adalah misi bunuh diri AS. Namun, situasi justru berubah ketika AS diserang oleh Jepang.
Konyolnya, Kekaisaran Jepang dan Nazi Jerman tidak tahu politik AS, sampai akhirnya menyerang dan menyatakan perang. Produk Domestik Bruto (PDB) dan ekonomi AS jauh lebih tinggi daripada Kekaisaran Jepang atau Jerman, dikutip dari Statista.
Ketika menyatakan perang terhadap AS, Hitler menambahkan pengeluaran Jerman sebesar 800 ,3 miliar dolar AS untuk menghadapi Sekutu.
Strategi ini tentu konyol karena Sekutu, jika hanya menghitung Kerajaan Inggris dan Uni Soviet saja, punya PDB gabungan sebesar 1,035 triliun AS. Ketika AS terlibat, PDB Sekutu ditotal menjadi 1,835 dolar AS.
Sementara dalam sejarah Perang Dunia II, Blok Poros yang terdiri dari Jerman, Jepang, dan Italia, punya PDB gabungan sebesar 661,6 miliar dolar AS.
Ketika menyatakan perang dengan AS, Hitler tidak punya rencana melawan AS, selain berharap kepada Kekaisaran Jepang.
Jerman pun berfokus pada pertempuran yang hebat, dan meraih kemenangan dari Sekutu. Nazi Jerman berhasil mengalahkan Prancis, merebut Norwegia, dan semakin dekat menyerang Moskow di akhir tahun 1941.
Hanya saja, Nazi Jerman tidak punya fasilitas yang memadai untuk menyerang AS. Banyak senjata canggih Angkatan Laut Jerman seperti U-Boat sebagai serangan kapal selam, bisa menekan AS. Namun, pada tahun 1943, AL Inggris dan AS menenggelamkan mayoritas U-Boat mereka.
Terdapat teori sejarah Perang Dunia II yang mengatakan, andaikan Hitler tidak menyatakan perang terhadap AS, mungkin Nazi bisa mengalahkan Uni Soviet dan Inggris pada 1942.
Sayangnya, pernyataan sudah dikumandangkan, sehingga Jerman harus berhadapan dengan dua front: Timur dan Barat.
Di sisi Pasifik, Kekaisaran Jepang tidak hanya menyerang Hawaii, tetapi juga Filipina. Dua-duanya adalah tempat kuasa AS yang membuat situasi hubungan kedua negara kian runyam.
Konyolnya, Kekaisaran Jepang tidak memanfaatkan serangan mereka di Pearl Harbor untuk menguasai Hawaii, padahal memiliki teknologi maju.
Source | : | statista,Lessons from History |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR