Di masa itu, samurai memiliki hak istimewa dan umumnya menangani masalah hukum di antara mereka sendiri. Samurai yang memiliki pangkat hakim memimpin pengadilan di setiap kota besar. Mereka menyelesaikan perselisihan, mengadili kasus, dan menghukum rakyat jelata yang melakukan kejahatan.
Di bawah hakim, yoriki (asisten hakim) melakukan penyelidikan dan mengawasi doshin (yang fungsinya mirip dengan polisi patroli) yang berpatroli di kota. Doshin menjaga perdamaian dan melakukan penangkapan bila perlu.
Doshin membawa pentungan bercabang dua, yang disebut jitte, sebagai simbol pangkat mereka.
“Seperti hakim, yoriki dan doshin selalu diambil dari kelas samurai,” tambah Spann. Namun, di mana hakim biasanya berasal dari klan yang kuat, asisten hakim dan polisi biasanya diambil dari keluarga samurai berpangkat rendah.
Pekerjaan sebagai yoriki atau doshin membawa stigma sosial dan laki-laki seringkali memilih profesi ini sebagai doshin. Catatan sejarah menunjukkan bahwa samurai perempuan tidak melayani sebagai hakim atau polisi.
Bagaimana dengan hukum pidana di Kekaisaran Jepang di abad pertengahan?
Hukuman pidana di Kekaisaran Jepang abad pertengahan juga berbeda tergantung pada kelas sosial pelaku.
Seperti sistem peradilan pada umumnya, samurai memiliki keistimewaan khusus dalam hal hukuman. Samurai yang melakukan kejahatan serius sering diberi hak (atau kewajiban) untuk melakukan seppuku. Seppuku adalah suatu bentuk ritual bunuh diri di mana samurai yang bersalah mengeluarkan isi perutnya dengan belati.
Ritual bunuh diri dengan seppuku mengembalikan kehormatan seorang samurai dan keluarganya. Selain itu, ritual ini juga mencegah terjadinya perseteruan antara klan pelaku kesalahan dan korbannya. Namun, hanya samurai yang diizinkan melakukan seppuku dan “kehormatan” tidak diberikan kepada setiap samurai yang melakukan kejahatan.
Di antara rakyat jelata, hukuman normal untuk kejahatan berat adalah hukuman mati dengan cara digantung. Jenis ini adalah hukuman yang dianggap mencemarkan dan merendahkan martabat. Menggantung tidak hanya mempermalukan terpidana, tetapi juga seluruh keluarganya.
Eksekusi rakyat jelata biasanya dilakukan di depan umum. Eksekusi eringkali diikuti dengan memperlihatkan kepala atau mayat penjahat sebagai peringatan kepada penduduk lainnya.
Kedua sistem peradilan feodal di Kekaisaran Jepang memperlakukan laki-laki dan perempuan sebagian besar setara dalam hal kejahatan dan hukuman. Penjahat wanita pergi ke tiang gantungan bersama rekan pria mereka. Dan samurai wanita umumnya diberi pilihan untuk bunuh diri.
Di Kekaisaran Jepang di abad pertengahan, kejahatan besar seperti pencurian, pembunuhan, dan pemerkosaan sering dianggap tidak dapat dimaafkan. Selain berdampak pada korban, tindakan tersebut menunjukkan rasa tidak hormat terhadap hukum dan tatanan sosial. Kejahatan semacam itu menimbulkan utang yang hanya dapat dilunasi oleh pelaku yang kehilangan nyawanya.
Setelah Restorasi Meiji, shogun tidak lagi memiliki kekuasaan de facto atas Kekaisaran Jepang. Hukum dan aturan pun ikut berubah.
sa
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR