Thomas Hegna, asisten profesor paleontologi di State University of New York (SUNY) di Fredonia, yang tidak terlibat dalam studi baru, mengatakan hal tersebut kepada Live Science melalui surel.
Ia juga mengatakan, bahwa filogeni baru yang berdasarkan analisis molekuler, menyiratkan beberapa kelompok chelicerata darat (laba-laba dan kalajengking) datang sebelum chelicerata laut (kepiting tapal kuda dan kalajengking laut).
Akan tetapi, meskipun pernyataan ini didukung dengan baik oleh bukti genetik, pernyataan ini tidak konsisten dengan catatan fosil.
Ini mungkin tampak seperti pedantri paleontologis, tetapi sebenarnya membuat perbedaan besar dalam menentukan araknida terbesar yang pernah ada.
Menurut pandangan tradisional dari pohon keluarga araknida, araknida terbesar yang masih hidup kemungkinan besar adalah laba-laba. Namun itu mengabaikan kepiting tapal kuda dan kalajengking laut.
Ada dua laba-laba yang menjadi pesaing besar untuk gelar "laba-laba terbesar di dunia". Laba-laba terbesar yang diketahui berdasarkan massa adalah Goliath Birdeater (Theraphosa blondi), berat 170 gram.
Laba-laba itu tubuhnya dapat mencapai panjang hingga 12 sentimeter. Ia bahkan dapat tumbuh hingga 28 cm jika kakinya dimasukkan, menurut American Association for the Advancement of Science (AAAS).
Jika seseorang menilai ukuran laba-laba dari diameter rentang kakinya, maka laba-laba terbesar mungkin adalah laba-laba pemburu raksasa (Heteropoda maxima).
Laba-laba ini memiliki rentang kaki sekitar 30 cm, membuatnya seukuran piring makan. Terlepas dari ukurannya, laba-laba ini baru ditemukan pada tahun 2001.
Ketika mereka menyelami catatan fosil, mereka menemukan bahwa araknida terbesar di dunia hewan yang pernah ada kemungkinan besar bukanlah laba-laba, melainkan kalajengking.
Brontoscorpio anglicus adalah kalajengking yang hidup selama era Silurian-Devonian (antara 350 juta dan 450 juta tahun yang lalu). Ukurannya bahkan mencapai hampir 1 meter, lima kali lebih panjang dari kalajengking terpanjang yang hidup saat ini.
Source | : | Live Science,Journal of Asia-Pacific Biodiversity |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR