Nationalgeographic.co.id—Bajak laut telah lama menjadi bagian dari sejarah Kekaisaran Jepang, Korea, dan Cina. Tiga kekaisaran Asia Timur ini telah mengalami pertempuran sengit dengan perompak ini. Menjelajah dunia bajak laut di ketiga kekaisaran ini sungguh menakjubkan.
Layaknya mengikuti cerita One Piece seri manga Jepang. Tak heran, One Piece menjadi manga terlaris sepanjang sejarah selama sepuluh tahun berturut-turut.
Wako diterjemahkan sebagai bajak laut kerdil, istilah yang digunakan tidak hanya bagi orang Jepang, tetapi juga mencakup bajak laut yang berbasis di pantai Korea, Taiwan, dan China. Orang Cina menyebut bajak laut wokou dan orang Korea waegu.
Bajak laut telah menjarah kapal di seluruh Asia Timur setidaknya sejak abad ke-8 masehi. Wako mengganggu lautan Asia Timur dari Korea hingga Indonesia. Khususnya antara abad ke-13 dan ke-17 masehi, kehancuran menimpa masyarakat pesisir.
Selain gangguan perdagangan, ribuan orang tak berdosa dijual sebagai budak. Para bajak laut menyebabkan ketegangan yang signifikan dalam hubungan diplomatik antara Kekaisaran Tiongkok, Kekaisaran Korea, dan Kekaisaran Jepang selama periode ini.
Jepang memiliki sejarah bajak laut yang panjang, khususnya selama periode Sengoku. Mereka menargetkan wilayah pesisir untuk melakukan aktivitas penyelundupan, merampok kapal dagang, dan bahkan menyerang desa pesisir.
Beberapa bajak laut Jepang yang terkenal seperti Murakami Suigun sering beroperasi bekerja sama dengan armada bajak laut Tiongkok. Murakami Suigun merupakan klan angkatan laut yang sering disebut-sebut sebagai perompak. Klan ini menguasai sebagian dari Setouchi selama berabad-abad.
Memang, para bajak laut sangat merusak reputasi Jepang di mata tetangga Asia Timur mereka pada periode abad pertengahan. Setelah panglima perang Toyotomi Hideyoshi (1582-1598 M) menyatukan pemerintahan Jepang, akhirnya pemerintah cukup kuat untuk menangani momok bajak laut dan mengakhiri teror mereka.
Dilansir dari World History, pangkalan bajak laut yang paling terkenal adalah Pulau Tsushima, yang juga memiliki pelabuhan resmi. Pulau itu berbatu-batu dan bergunung-gunung sehingga penduduk berjuang untuk menyediakan makanan yang cukup untuk diri mereka sendiri.
Sementara penguasa setempat yang feodal memperoleh banyak uang dengan mensponsori para bajak laut yang menyita barang-barang di laut lepas. Pangkalan bajak laut penting lainnya di Jepang berada di Pulau Iki dan Matsura.
Pada puncaknya di abad ke-14 masehi, ratusan kapal bajak laut menyerbu selat antara Korea dan Jepang bagian selatan. Mereka melakukan berkali-kali serangan besar di semenanjung Korea selatan setiap tahun.
Bahkan banyak bajak laut menjarah kapal dan pelabuhan pesisir di sisi barat semenanjung Korea, tepat di pulau utara Kanghwa. Pada abad ke-15 dan ke-16 masehi, pantai Cina menjadi daerah sasaran lainnya. Bajak laut mencuri apa pun yang berharga misalnya, logam mulia, pedang, dan baju besi. Tetapi barang curah seperti kain, biji-bijian, dan beras dikirim sebagai upeti kepada kaisar Tiongkok.
Cina juga memiliki sejarah bajak laut yang kaya selama Dinasti Ming hingga Dinasti Qing. Para bajak laut ini berasal dari berbagai negara termasuk Jepang, tetapi beroperasi terutama di sepanjang pantai tenggara Cina. Mereka menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap rute perdagangan maritim dan masyarakat pesisir.
Beralih ke Korea, pembajakan merajalela selama Dinasti Joseon. Bajak laut Korea aktif di sepanjang pantai Semenanjung Korea. Para bajak laut ini tidak hanya menargetkan kapal asing tetapi juga terlibat dalam kegiatan penyelundupan.
Pemerintah melakukan upaya untuk memerangi perompakan dengan membentuk angkatan laut khusus lengkap dengan armada kapal perang besar yang disebut Geobukseon. Geobukseon memainkan peran penting dalam mempertahankan diri dari serangan bajak laut.
Bajak laut menyerbu pelabuhan dan permukiman pesisir dengan armada hingga 400 kapal yang membawa rombongan penyerang yang terdiri dari 3000 orang. Meskipun mereka hanya bersenjata ringan—senjata yang lebih disukai adalah pedang—mereka membentuk pasukan yang disiplin dan terorganisir.
Wako sering menangkap orang tak bersalah untuk dijual sebagai budak tuan feodal atau sebagai budak pedagang Portugis. Banyak komunitas petani mundur jauh ke pedalaman, bahkan lebih memilih meninggalkan tanah pertanian terbaiknya.
Salah satu kesulitan bagi sejarawan modern adalah mengidentifikasi siapa sebenarnya wako. Para bajak laut terkadang terlibat dalam perdagangan yang sah. Bajak laut yang cerdas juga menyita dokumen resmi seperti kango milik Dinasti Ming untuk menunjukkan bahwa kapal tersebut adalah pedagang atau pengangkut upeti yang sah.
Tak hanya itu, para bajak laut juga mengambil keuntungan dari hubungan perdagangan yang sah antara Kekaisaran Tiongkok, Kekaisaran Korea, dan Kekaisaran Jepang. Hal ini sering terjadi sejak abad ke-12 masehi.
Dalam hal ini, beberapa penguasa feodal di ketiga kekaisaran dengan senang hati mendukung bajak laut sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan mereka sendiri. Sejarawan mengungkap memang benar bahwa banyak wako pada abad ke-16 masehi, mayoritas adalah dari Cina.
Banyak dari mereka mantan pedagang yang tidak puas dengan pembatasan domestik dan pajak atas perdagangan oleh pemerintah Dinasti Ming. Korea juga memiliki bajak laut pribumi sendiri. Kelompok terkenal lainnya adalah pedagang Portugis yang sering bekerja sama dengan bajak laut untuk menyelundupkan barang-barang mereka ke Cina.
Manuver bajak laut pada ketiga kekaisaran di Asia Timur ini berdampak luas pada perdagangan, diplomasi, dan keamanan regional. Pemerintah merespons dengan menerapkan langkah-langkah seperti memperkuat angkatan laut, menetapkan undang-undang anti-pembajakan, dan mempromosikan kerja sama internasional untuk memerangi ancaman akan teror ini.
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR