"Menggali fosil membutuhkan banyak waktu karena ukurannya yang tipis. Setiap tulang belakang saja memiliki berat 150 kilogram (330 pon)."
Para peneliti hanya dapat memperkirakan seberapa besar P. colossus menggunakan tulang dalam jumlah terbatas yang mereka gali. Itu karena sebagian besar sisa-sisa hewan tersebut telah membusuk dari waktu ke waktu – termasuk semua jaringan lunaknya.
Namun, tulang yang mereka pulihkan sangat padat, artinya sangat berat. Untuk mengkompensasi kerangka yang berat ini, tim percaya bahwa jaringan lunak paus kemungkinan lebih ringan daripada tulang.
Kondisi tersebut, menurut paleontolog, untuk mengimbangi kerangka yang berat dan membantunya menjadi lebih ringan, menurut penelitian tersebut.
Alhasil, P. colossus kemungkinan memiliki penampilan yang sangat aneh di dunia hewan. Tim menyamakannya dengan manatee modern, tetapi dengan kepala mungil, tubuh besar, serta lengan dan kaki kecil.
"Itu mungkin terlihat jauh lebih aneh dari yang kita kira," kata Amson. Spesimen saat ini disimpan di Museum Sejarah Alam di Lima.
"Dalam hal berat, paus kolosal jelas lebih besar dari paus biru. Tetapi panjang tubuh secara keseluruhan lebih pendek dari paus biru (dan berukuran) sekitar 20 meter.
"Sulit untuk memperkirakan dengan tepat berapa banyak lemak dan jaringan lunak yang mengelilingi kerangkanya, jadi kami menggunakan pendekatan yang agak konservatif dengan perkiraan ukuran kami," kata Amson.
Tapi penampilan aneh itu mungkin membantunya tetap mengapung dan memungkinkannya meluncur perlahan di air. Di dunia hewan, itu mirip dengan manatee (genus Trichechus), tulis para peneliti dalam penelitian tersebut.
P. colossus tidak hanya menghancurkan persepsi kita tentang seperti apa rupa hewan terberat di dunia hewan, tetapi juga menantang apa yang kita ketahui tentang evolusi cetacea.
Penemuan fosil ini juga mengungkapkan, bahwa paus kolosal mencapai massa tubuh puncaknya 30 juta tahun lebih awal dari perkiraan semula.
Source | : | Nature,Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR