Nationalgeographic.co.id—Kisah kaum Katar adalah salah satu yang paling tragis dalam sejarah Perang Salib. Mereka menentang Gereja Katolik Roma, menolak surat-surat Paulus dan yang paling problematik adalah, menolak doktrin trinitas.
Penolakan kaum Katar memang bukan tanpa alasan. Doktrin trinitas sendiri tidak dikenal secara umum sebelum Konsili Nikea pada tahun 325 dan dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen Awal.
Konsili Nicea adalah pertemuan khusus para uskup sedunia yang digelar oleh Kaisar Konstantinus Agung di kota Nicea, Kekaisaran Romawi.
Konsili inilah yang kemudian merumuskan doktrin yang akan diseragamkan untuk seluruh umat Kristen. Pokok bahasannya termasuk pengakuan keimanan, tanggal perayaan Paskah hingga pembaptisan.
Namun demikian, sebenarnya interpretasi Konsili Nicea tentang doktrin Kristen bersaing dengan ajaran Kristen lain selama berabad-abad. Salah satu yang paling krusial adalah isu tentang keilahian Kristus dan istilah Trinitas atau Tritunggal.
Tidak hanya soal Trinitas, kaum Katar juga menolak sebagian besar ayat dalam Alkitab, yang menurut mereka diilhami oleh Setan. Gereja Katolik mereka lihat sebagai kemunafikan para pendeta dan akuisisi atas tanah dan kekayaan.
Menurut catatan World History Encyclopedia, satu-satunya kitab Perjanjian Baru yang mereka terima adalah Injil. Teks religius utama mereka adalah Kitab Dua Prinsip, bagian-bagian yang akan dibacakan oleh salah satu perfecti untuk jemaat.
Kaum Katar juga menolak simbol salib dan pembacaan literal dari buku-buku Alkitab mana pun. Mereka menganggap salib sebagai simbol Rex Mundi dan percaya salib itu harus dihancurkan saat ditemui karena merupakan representasi kejahatan.
Salib, menurut mereka, tidak lebih dari simbol kekuatan duniawi, dan semua sakramen gereja, termasuk baptisan bayi dan komuni, juga ditolak.
Sementara kaum Katar yang tidak selibat mempraktikkan pengendalian kelahiran dan aborsi. Mereka meyakini bahwa seks adalah aspek alami dari kondisi manusia dan dapat dilakukan untuk kesenangan, tidak hanya untuk prokreasi.
Wanita dinilai setara dengan pria dan sosok wanita dalam Alkitab menjadi perhatian mereka, terutama Maria Magdalena dan Perawan Maria.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR