Nationalgeographic.co.id—Ada banyak mitos laba-laba raksasa di dunia hewan. Mulai dari laba-laba seukuran piring makan, hingga yang lain dengan taring sepanjang satu inci (2,5 cm). Sepanjang sejarah, kisah laba-laba raksasa telah mencengkeram imajinasi manusia.
Mulai dari Arachne, sosok setengah wanita setengah laba-laba dalam mitologi Yunani, hingga J'ba Fofi, laba-laba seukuran monyet yang berasal dari hutan hujan Kongo.
Bahkan di dunia fiksi ada Shelob, arakhnida yang mengerikan yang membuat Frodo The hobbit tetap waspada dalam "The Lord of the Rings".
Tapi apakah ada laba-laba di kehidupan nyata yang mengilhami cerita dan mitos ini? Sebenarnya, apa laba-laba terbesar di dunia? Apakah mereka berbahaya bagi manusia?
Meskipun tidak ada yang sebesar binatang fiksi itu, dunia hewan yang sebenarnya memang berisi banyak laba-laba raksasa.
Seperti misalnya laba-laba pemburu raksasa (Heteropoda maxima), yang merupakan laba-laba terbesar di dunia dengan rentang kaki. Berukuran 11,8 inci (30 cm), arakhnida ini dapat mencapai ukuran piring makan.
Tetapi spesies laba-laba lain berukuran sangat besar hingga mendekati ukuran anak anjing. "Jika kita berbicara tentang spesies tarantula terbesar, itu akan menjadi spesies yang disebut Theraphosa blondi," kata Ray Hale.
Hale adalah seorang dosen satwa liar, arachnologist dan wakil ketua British Tarantula Society. "Yaitu, laba-laba pemakan burung goliath," Hale menambahkan.
Seberapa besar laba-laba raksasa?
Di dunia hewan, laba-laba dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, kata Hale kepada Live Science. Yang pertama araneomorphs (juga dikenal sebagai 'laba-laba sejati', kelompok yang mencakup 90% laba-laba di bumi) dan yang kedua mygalomorphs.
Tarantula adalah mygalomorphs, kelompok yang dianggap lebih primitif daripada laba-laba sejati. Ini berarti bahwa mereka telah berevolusi lebih sedikit sejak zaman kuno.
Dan karenanya, tarantula mempertahankan ciri-ciri tertentu yang dimiliki laba-laba sejati sejak saat itu — seperti taring yang mengarah ke bawah, dan ukurannya yang besar.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR