Nationalgeographic.co.id—Konon, masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah pesisir di Indonesia memiliki tipikal masyarakat dengan kecenderungan wataknya yang keras dan terbuka. Lantas benarkah demikian?
Pada umumnya masyarakat yang hidup di daerah pantai biasa disebut sebagai masyarakat pesisir. Sebagai masyarakat pesisir yang hidup dekat dengan wilayah perairan, kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai nelayan.
"Masyarakat pesisir biasanya bermukim di daerah dekat dengan wilayah pesisir atau pantai, pemukiman ini identik dengan istilah kampung nelayan," tulis Achmad Fama. Ia menulis pada jurnal Sabda, berjudul Komunitas Masyarakat Pesisir di Tambak Lorok, Semarang, terbit pada 2016.
Permukiman nelayan adalah perkampungan yang mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. "Kampung - kampung di pesisir seperti kampung nelayan sangat potensial menjadi daerah yang kumuh, dengan masyarakat yang mayoritas adalah masyarakat miskin," tambahnya.
Penduduk di kampung nelayan tidak seluruhnya menggantungkan hidup dari kegiatan menangkap ikan, akan tetapi masih ada bidang lain, seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau, pedagang perantara atau eceran hasil tangkapan nelayan, dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir.
Secara sosial budaya dijelaskan bahwa masyarakat pesisir tersebut memiliki ciri-ciri yang saling terkait antara satu dengan yang lain. "Utamanya, karakteristik masyarakat pesisir pada umumnya memiliki watak keras dan bersifat terbuka," tulis Fama.
"Terdapat interaksi sosial yang intensif antara warga masyarakat, yang ditandai dengan efektifnya komunikasi tatap muka, sehingga terjadi hubungan yang sangat erat antara satu dan lainnya," lanjutnya.
Hal tersebut membangun hubungan kekeluargaan yang berdasarkan atas rasa simpati dan bukan berdasarkan kepada pertimbangan rasional yang berorientasi kepada untung dan rugi.
Selain itu, menurut Arif Satria dalam bukunya Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, diterbitkan pada tahun 2002. Bukunya menjelaskan bahwa, nelayan bergelut dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol.
"Sejak berabad-abad silam, kota-kota di pesisir Jawa telah memiliki riwayat persinggungan dengan budaya para pedagang beragam bangsa," tambahnya. Banyaknya kota pelabuhan menjadikan wilayah-wilayah pesisir sebagai kota yang terbuka.
"Bertemunya dan berinteraksinya dengan masyarakat baru yang datang dari wilayah lain, secara tidak sadar membangun antisipasi diri sekaligus juga melahirkan watak keras dalam diri masyarakat pesisir," imbuhnya.
"Di sisi lain, nelayan menghadapi sumber daya yang bersifat open acces dan beresiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti nelayan memiliki karakter yang tegas, keras, dan terbuka," pungkas Satria.
Dalam mencari nafkah mereka menonjolkan sifat gotong royong dan saling membantu. Hal tersebut ditandai dengan mekanisme menangkap ikan baik dalam cara penangkapan maupun dalam penentuan daerah operasi.
Rijal Abdillah dan Koentjoro dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Psikologika, berjudul Nilai dan Pesan Moral Tarling Menurut Perspektif Pelaku Kesenian Tarling Cirebon: Studi Psikologi Budaya, terbit pada 2015.
"Pola interaksi yang diturunkan sejak nenek moyang dalam perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Pesisir Utara Jawa, utamanya di Cirebon, mengubah watak penduduknya menjadi terbuka dan berbicara terus terang (apa adanya) dalam mengutarakan perasaannya," tulisnya.
Secara historis, geliat perdagangan laut menjadi salah satu identitas yang dimiliki oleh masyarakat pesisir Cirebon sejak awal perkembangan Islam. Banyak kegiatan ekspor dan impor komoditas dagang berlangsung selama beberapa tahun lamanya.
Sebelum dikenal dengan nama Cirebon dan aktivitas masyarakat modern di dalamnya, pemukiman awal itu bernama Caruban. Di sanalah pusat peradaban Kerajaan Galuh berkembang.
Caruban yang berada di pedalaman disebut juga sebagai Caruban Girang. Dikelilingi kawasan pesisir, wilayah utara Caruban yang dikelilingi laut itu disebut Muhara Jati.
Muhara Jati dalam tulisan A. Sobana Hardjasaputra dan tim penulis lainnya (2011) dalam buku berjudul Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 Hingga Pertengahan Abad ke-20) merupakan tempat bermukimnya para nelayan sekaligus pelabuhan.
Pelabuhan di Muhara Jati dianggap sebagai salah satu pelabuhan penting bagi pelayaran di Pulau Jawa sejak abad ke-13. Kondisinya selalu ramai bagi pelayar yang melabuhkan kapalnya dan berlalu lalang kala itu.
Aktivitas pelabuhan dan berlabuhnya sejumlah kapal asing, tak pelak mendorong berkembangnya agama Islam di Caruban melalui Muhara Jati pada abad ke-14. Syekh Quro dan Syekh Nurdjati menjadi ikon penting dalam penyebaran Islam di sana.
Salah satu cikal bakal penamaan Caruban hingga Cirebon diperkirakan juga karena adanya pengaruh tokoh-tokoh Islam di sana. Abdullah Imam—salah satu tokoh ulama—memiliki kebiasaan untuk menangkap ikan dan rebon (udang kecil).
"Rebon seketika ditumbuk dan dijadikan sebagai terasi untuk penyedap makanan," tambah Sobana dan tim. Pembuatan terasi yang melezatkan makanan akhirnya mulai tersebar beritanya ke daerah lainnya.
Alhasil, orang-orang yang mendengar berita temuan terasi yang lezat membuat pemukiman Tegal Alang-Alang—pemukiman yang baru dibuka dan menjadi tempat tinggal Abdullah Imam—menjadi ramai pendatang yang penasaran dengan terasi.
Setelah banyaknya pendatang yang memutuskan untuk bermukim sebagai pembuat dan penjual terasi, Tegal Alang-Alang dikenal sebagai Sarumban yang kemudian dikenal luas dengan istilah Caruban.
Adapun perkembangan pengolahan udang kecil menjadi terasi juga melatarbelakangi perubahan nama dari Caruban menjadi Cirebon. Penamaan itu berdasar pada Ci (air) dan Rebon (udang kecil).
Bahkan sampai hari ini, masyarakat Cirebon masih memegang identitas kultur dan budaya sebagai masyarakat pesisir yang bersifat keras dan terbuka, namun memiliki rasa kekeluargaan yang erat terhadap sesama.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media #SayaPilihBumi #SisirPesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | jurnal Psikologika,jurnal Sabda |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR