Integrasi Kerajaan Yerusalem
Pada dasarnya Kerajaan Yerusalem adalah entitas yang diciptakan di atas wilayah pendudukan. Dengan fakta itu, jelas Kerajaan Yerusalem akan menghadapi proses integrasi yang tidak mudah.
Meski pada awal pendudukan terjadi pembataian penduduk asli, Pasukan Salib menyadari bahwa mereka butuh orang-orang Yahudi dan Muslim yang telah lama tinggal di Tanah Suci Yerusalem.
Akhirnya orang Yahudi dan Muslim tetap dapat mengunjungi Yerusalem tetapi tidak boleh tinggal di sana. Selain itu juga tidak pernah ada sentimen kebencian anti-Yahudi di Timur Latin, tidak seperti di Eropa.
Ada banyak orang Kristen Timur, terutama orang Armenia, di Kerajaan Yerusalem, tetapi bahkan lebih banyak Muslim, mungkin melebihi jumlah populasi Kristen 5:1.
Penduduk setempat telah hidup dalam sistem di bawah Kekaisaran Seljuk, dan sistem yang sama berlanjut di bawah pemukim Pasukan Salib bersama dengan keluarga mereka, berjumlah tidak lebih dari beberapa ribu.
Karena sebagian besar Pasukan Salib berasal dari Prancis, bahasa resmi kerajaan adalah langue d'oeil, yang kemudian dituturkan di Prancis utara dan oleh orang Normandia.
Tidak hanya itu, ada masalah linguistik dan agama, serta antara penguasa dan yang dikuasai. Itu artinya sangat sedikit integrasi budaya antar kelompok, melainkan kontak terbatas pada urusan hukum, ekonomi, dan administrasi.
Jika ada integrasi budaya, hal itu paling terasa di pihak kaum Frank dan pengadopsian pakaian lokal dan masakan.
Yang paling mempengaruhi orang Kristen Barat adalah praktik kebersihan yang umum dilakukan oleh muslim timur tengah, serta pengaruh mereka terhadap seniman dan arsitek lokal.
Terlepas dari peperangan antara Kristen dan Muslim dalam sejarah Perang Salib, mayoritas kota kerajaan tetap kosmopolitan. Itu karena perdagangan berkembang pesat terlepas dari politik atau ras.
Kaum Frank sangat kekurangan tenaga kerja, dan akibatnya, pengaruh mereka terhadap daerah pedesaan di negara-negara Pasukan Salib sangat minim.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR