Dengan kombinasi lebih sedikit sinar matahari bagi tanaman untuk berfotosintesis, kondisi beku ini akan menimbulkan konsekuensi bencana bagi produksi pangan global dan menyebabkan kelaparan massal di seluruh dunia.
Namun demikian, model iklim modern saat ini jauh lebih canggih daripada yang digunakan pada 1980-an, meskipun jumlah nuklir yang berfungsi saat ini lebih sedikit.
Hasil simulasi komputer yang lebih baru dampaknya jauh lebih mengerikan. Hasilnya menunjukkan bahwa ramalan suram yang disampaikan oleh para ilmuwan 40 tahun yang lalu mungkin sebenarnya telah meremehkan.
Bahaya yang jelas dan nyata
Tim ilmuwan lingkungan yang dipimpin oleh Alan Robock di University of Rutgers di AS berpendapat dalam sebuah makalah baru-baru ini. Menurut mereka teori musim dingin nuklir membantu mengakhiri proliferasi senjata nuklir selama perang dingin.
Pada tahun 1986, Presiden Ronald Reagan dan Sekretaris Jenderal Mikhail Gorbachev mengambil langkah pertama dalam sejarah. Tujuannya untuk mengurangi jumlah senjata nuklir sambil mengutip perkiraan konsekuensi dari musim dingin nuklir untuk semua kehidupan di Bumi.
Pada puncak perlombaan senjata pada pertengahan 1980-an terdapat lebih dari 65.000 senjata nuklir. Pengurangan persenjataan nuklir global menjadi lebih dari 12.000 (4.000 di antaranya siaga operasional).
Kondisi itu telah meredam ancaman perang nuklir habis-habisan, mendorong beberapa orang mempertanyakan apakah model iklim terbatas yang digunakan pada 1980-an telah mengecilkan konsekuensi perang nuklir global.
Model iklim yang lebih baru dan lebih canggih menunjukkan yang sebaliknya. Model iklim itu adalah model yang digunakan untuk memodelkan perubahan iklim di masa depan yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Dengan kemungkinan pertukaran nuklir terbesar antara AS dan Rusia, model-model baru menunjukkan lautan akan sangat dingin sehingga dunia akan didorong ke dalam "zaman es kecil nuklir" yang berlangsung ribuan tahun.
Tentu saja, ada tujuh negara nuklir lainnya: Tiongkok, Prancis, India, Israel, Korea Utara, Pakistan, dan Inggris.
Source | : | Science Alert |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR