Nationalgeographic.co.id—Samurai adalah pejuang yang menakutkan, dihormati, dan tokoh terkemuka dalam sejarah Kekaisaran Jepang. Menurut beberapa cerita, samurai kerap membunuh warga sipil karena mereka memiliki hak untuk melakukannya.
Beberapa samurai membunuh warga sipil. Meski ilegal, samurai membunuh orang yang lewat di malam hari. “Beberapa pakar menyebutkan bahwa samurai melakukan ini untuk menguji senjata baru,” tulis Christian Christensen di laman World History Faq.
Samurai lain hanya membunuh warga sipil jika orang tersebut menghina kehormatan samurai. Praktik kedua ini legal menurut hukum di Kekaisaran Jepang di masa itu. Ini dikenal dengan sebutan kirisute-gomen.
Bagaimana samurai memperlakukan petani dan rakyat jelata di Kekaisaran Jepang?
Pada zaman Edo, Kekaisaran Jepang mempunyai hierarki kelas dan kedudukan sosial yang sangat kompleks.
Yang berada di puncak tatanan sosial adalah kaisar. Dia diikuti oleh bangsawan istana, shogun, dan daimyo. Mereka semua dianggap elite atau aristokrasi Kekaisaran Jepang.
Kelas samurai berada tepat di bawah keempat kelas tersebut dan bertindak sebagai jembatan antara aristokrasi Jepang dan orang awam. Para petani berada di bawah samurai, disusul oleh perajin, dan pedagang.
Para petani cukup dihormati dan diperlakukan dengan baik oleh kelas atas Jepang dan para samurai. Hal itu disebabkan karena mereka menanam, memanen, dan memproduksi sebagian besar makanan di Kekaisaran Jepang.
Namun para samurai tidak segan untuk membunuh petani jika mereka menghina kehormatan samurai. Hal itu terjadi karena kelas petani berada di bawah samurai.
Hak samurai Kekaisaran Jepang untuk membunuh rakyat jelata yang menghina mereka
Kirisute-gomen adalah hak yang memperbolehkan samurai untuk membunuh rakyat jelata yang menghina kehormatan mereka. Orang yang memiliki kelas atau pangkat lebih rendah dari samurai juga termasuk di dalamnya.
Samurai bahkan boleh meninggalkan jenazah begitu saja, tanpa rasa takut akan ganti rugi atau dijatuhi hukuman.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR