Nationalgeographic.co.id—Elephant never forget atau gajah tidak pernah lupa adalah pepatah yang sering kita dengar tentang gajah. Apakah itu sekadar fiksi belaka? Nyatanya, itu memang benar-benar terjadi.
Di alam liar, gajah cenderung mengikuti jalur yang sama selama bertahun-tahun untuk menuju sumber air atau makanan. Ketika manusia membuka lahan atau membangun permukiman tepat di jalur mereka, interaksi negatif manusia dan gajah bisa terjadi.
Warga di Desa Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau, telah sejak lama hidup di kawasan jalur jelajah gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus). Dari yang awalnya masih diselimuti hutan hingga sebagian terganti oleh perkebunan.
Abdullah, ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Alam Pusaka Jaya Desa Pinggir, mengisahkan bahwa sekitar 1982, tutupan hutan masih bagus. Namun, seiring bertambahnya masyarakat, luas hutan ikut menyusut. Begitu pula dengan gajah-gajah yang melewati desa, kini hanya 3 atau 4 ekor.
Dahulu, gajah yang melewati desa bisa mencapai 40 hingga 50 ekor, berjalan beriringan. Meski demikian, menurut Abdullah, pada masa itu tidak pernah ada konflik manusia dengan gajah. Lalu, bagaimana keduanya dapat berdampingan?
Bersama tokoh-tokoh masyarakat, warga Desa Pinggir membentuk kelompok untuk menghadapi gajah yang masuk desa. Ketika itu, mereka hanya menggiring rombongan gajah ke daerah yang tutupan hutannya masih ada.
Namun, seiring berjalannya waktu, interaksi negatif manusia dan gajah pun terjadi. Gajah mulai memakan hasil perkebunan masyarakat yang didominasi sawit dan karet.
“Konfliknya begini, masyarakat bercocok tanam. Tentu gajah dalam hal ini, mau makan juga. Jadi, apa yang ditanam oleh masyarakat, ini yang dimakan gajah,” jelasnya.
Dahulu, belum ada arahan yang dilakukan pemerintah setempat, supaya hasil panen masyarakat berhasil. Menurut Abdullah, ini bisa menjadi fatal. Sebab, masyarakat yang belum mengetahui tentang gajah dan mengalami kerugian, bisa mengasumsikan gajah sebagai hama.
Ketika itu, mereka masih melakukan koordinasi secara gotong royong untuk menggiring gajah. Warga Desa Pinggir juga berkomunikasi dengan desa tetangga untuk berbagi informasi munculnya gajah.
Hingga akhirnya, warga menyadari bahwa gajah sebenarnya bukan hama. Mereka menganggap bahwa gajah sebenarnya tidak memiliki niat untuk merusak kebun masyarakat, tetapi hanya untuk makan. Abdullah bersama warga lalu berinisiatif menanam tumbuhan yang sering dimakan gajah.
“Waktu itu kita ajukan ke BBKSDA, bibit pisang, bibit tebu, yang nanti ditanam di batas-batas kebun masyarakat,” terangnya.
Mereka juga menanam tumbuhan yang produktif, tetapi tidak disukai gajah. Misalnya di kebun yang masih kosong, ditanami jeruk nipis. Kemudian di kebun karet, ditanami rotan cincin yang tiga tahun bisa panen.
Strategi yang mirip agroforestri ini ternyata sudah mereka terapkan sejak lama. “Sebetulnya, agroforestri menurut kita sesuatu yang sudah lama, tetapi mungkin istilahnya baru. Dalam artian, pertanian kolaborasi atau digabungkan dengan kehutanan,” ungkapnya.
Sekarang, Desa Pinggir mengelola program agroforestri yang merupakan program kemitraan Rimba Satwa Foundation (RSF) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Program ini diharapkan dapat mengurangi interaksi negatif dengan gajah melalui pertanian.
Jenis tanaman yang digunakan adalah tanaman yang rendah gangguan dari gajah, tetapi bernilai ekonomi tinggi. Saat ini, jenis yang ditanam adalah durian, matoa, kopi, alpukat, dan aren.
Warga Desa Pinggir juga melakukan perbaikan habitat dengan menambah volume tumbuhan yang menjadi pakan gajah. Mereka melakukan budidaya rumput odot (Pennisetum purpureum) yang disukai gajah. Rumput itu dipelihara di sebuah pekarangan kecil di belakang desa.
Saat ukurannya cukup besar, rumput-rumput itu kemudian ditanam kembali di koridor jalur gajah, tepi sungai, atau batas-batas kebun masyarkat. Tujuannya agar gajah tetap berada di jalurnya dan mendapatkan sumber makanan. Dengan cara ini, permukiman dan kebun warga tetap aman dari gajah, dan mereka dapat hidup berdampingan.
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR