Nationalgeographic.co.id—"Lak, tahukah engkau bakal istriku kelak?
Orangnya tidak jauh dari sini, kau ingin tau? boleh....
Orangnya dekat sini kau tak usah beranjak..
karena orangnya ada di sebelahku," tulis Sukarno dalam puisi cintanya kepada Oetari Tjokroaminoto.
Seuntai puisi indah ditulis Sukarno dalam secarik surat cinta yang ia tujukan kepada Oetari, putri dari HOS Tjokroaminoto yang kala itu baru berusia 14 tahun. Sang intelektualis muda itu sedang dibuai asmara, dan ia memang pandai merangkai kata.
Sukarno dikenal pandai bermain kata, sebagaimana tajinya meramu diksi yang dapat memikat siapapun yang membaca tulisannya dan mendengar orasinya. Ialah presiden pertama Republik Indonesia yang tak hanya pandai beretorika, melainkan juga pandai "menggombal."
Dalam sejarah Sukarno, seluruh penikmat sejarah hidupnya telah mengerti akan daya magisnya yang mampu menyihir para pendengar saat ia berpidato dengan lantang. Memengaruhi setiap orang yang mendengarnya.
Kisah hidup Sukarno, termasuk petualangan asmaranya pernah ditulis Marta Nia Zuriyati dalam skripsinya kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Skripsinya berjudul Perempuan dan Politik dalam Perspektif Soekarno yang terbit di tahun 2014.
Dalam tulisan penuh kasmarannya kepada Oetari, Sukarno menutupnya dengan sebuah kalimat, "aku mencintaimu." Puisi merah jambu itulah yang mekar di hati Oetari, mengantar mereka menuju mahligai pernikahan di tahun 1920.
Dalam skripsinya, Zuriyati mengungkapkan bahwa, meski telah melalui waktu bersama, Sukarno akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan wanita yang ia panggil 'Lak' dalam sajak cintanya itu.
Setelah lama melenggang sendiri, Sukarno melanjutkan studinya di Bandung dan bertemu dengan seseorang yang kembali menancapkan asmara dan menggelorakan cinta di dadanya.
"Aku kembali ke Bandung, dan kepada tjintaku jang sesungguhnja..," tulis Sukarno kepada Inggit. Ialah Inggit Garnasih, ibu kos yang terpaut usianya 15 tahun lebih tua dari Soekarno, telah berhasil memikat hati Sukarno.
Inggit yang telah bercerai dengan Sanusi, mantan suaminya, telah memutuskan menikah dengan Sukarno pada 24 Maret 1923. Namun, perjalanan cinta Sukarno tak berhenti pada Inggit, Sukarno yang telah mendamba anak, terpikat dengan keayuan Fatmawati.
Ia pernah menulis sajak nan romantis kepada Fatmawati:
"Dari ribuan dara di dunia...
Kumuliakan engkau sebagai dewiku...
Kupuja dengan nyanyian mulia, kembang & setanggi dupa hatiku."
Sukarno dan Fatmawati akhirnya menikah di tahun 1943, dan di tahun yang sama, Inggit yang pantang dimadu memutuskan untuk kembali ke Bandung dan hidup menjanda.
Setelah mengarungi bahtera rumah tangga dan dianugerahi 5 keturunan, Sukarno kembali bertemu dengan pujaan hatinya dari pertemuan singkatnya dengan Hartini di Salatiga. Ia menulis sajak cinta kepada Hartini yang berbunyi:
"Tuhan telah mempertemukan kita Tien..
dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir."
Petualangan cintanya bersemi dengan Hartini yang kemudian dinikahinya pada 7 Juli 1954. Pernikahan itu juga menjadikan Hartini sebagai istri kedua Sukarno setelah Fatmawati.
Cinta Sukarno kembali bergelora tatkala bertemu dengan penari istana, Haryati. Dalam sajaknya, ia menumpahkan perasaannya dalam sajak berbahasa Jawa:
“Yatie adiku wong aju, iki lho alrodji sing berkarat kae.
Kuliknakna nganggo, mengko sawise sasasi rak weruh endi sing kok pilih: sing ireng, apa sing dekmau kae, apa sing karo karone? Dus; mengko sesasi engkas matura aku. (dadi senadjan karo karone kok senengi, aku ja seneng wae).
Masa ora aku seneng! Lha wong sing mundhut wanodja palenging atiku kok! Adja manehsakados alrodji, lha mbok apa apa ja bakal tak wenehke.”
artinya: "Yatie, adikku yang cantik, Ini lho, arloji bertahta emas itu. Biasakan memakai, nanti setelah sebulan kamu akan tahu mana yang hendak dipilih, yang hitam atau yang satunya, atau keduanya? Jadi, nanti sebulan lagi, bilanglah (walaupun suka keduanya, aku senang juga).
Masa aku tidak senang! lha yang meminta saja wanita jantung hatiku! Jangankan sekadar arloji, minta apa pun akan aku beri.
"Yatie" nampaknya terus-menerus hadir dalam kamus hidup sejarah Sukarno. Kepadanya Sukarno menulis ungkapan puitis bernada asmara lagi:
"Tie, surat-suratku ini tolong disimpan ya! Supaya menjadi gambaran cintaku kepadamu, yang bisa dibaca-baca lagi (kita baca bersama-sama) pada suatu saat nanti, kala aku mau pindah-rumah di dekat telaga biru yang saya ceritakan ketika itu. Itu lho, telaga di atas, di atasnya angkasa. Coba kau pejamkan matamu sekarang, maka kau akan bisa membayangkan telaga itu! Kalau di tepian telaga tadi tampak lelaki berjubah putih (bukan kain kafan lho… tetapi kain yang bersulamkan pancaran sinar matahari), ya itu aku, –aku, menunggumu. Sebab dari perkiraanku, aku yang bakal mendahului pergi ke sana, aku mendahuluimu!
Lha itu, kembang kamboja di atas nisanku, petiklah kembang itu, ciumilah, maka kamu akan rasakan aroma tubuhku. Bukan aroma bunga, tetapi sebuah aroma yang tercipta dari rasa-cintaku. Sebab, akar kamboja itu menusuk menembus dadaku, di dalam kuburan sana."
Sajaknya yang indah kepada Haryati, membawa Sukarno menghantarkan cintanya hingga ke pelaminan pada tahun 1963. Petualangan cintanya terus berlanjut sampai akhirnya bertemu dengan Heldy Djafar.
Petualangan asmara dalam sejarah Sukarno ditutup dengan pernikahannya dengan Heldy Djafar, istrinya yang kesembilan dan yang terakhir. Cintanya ia labuhkan pada pernikahan yang dilangsungkan tahun 1966, di usia Sukarno yang ke-65 tahun.
Source | : | Digital Library UIN Sunan Ampel Surabaya |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR