Pada 1592, ketenangan semenanjung Korea terganggu oleh serangan gencar pasukan Kekaisaran Jepang yang tiba-tiba. Hal ini menandai dimulainya invasi pertama.
Impian ambisius Hideyoshi akhirnya terwujud. Strateginya cepat dan berani: serangan mendadak dengan kekuatan luar biasa yang bertujuan untuk menggulingkan Kerajaan Korea.
Yang memimpin gelombang pertama invasi adalah pasukan berkekuatan 158.800 orang, terdiri dari prajurit berpengalaman dari era Sengoku dan anggota baru.
Dengan unsur kejutan di pihak mereka, pasukan Jepang dengan cepat maju, merebut benteng Busan dan Dongnae dengan perlawanan minimal.
Keberhasilan awal pasukan Jepang dapat dikaitkan dengan keunggulan taktik dan persenjataan mereka.
Arquebus mereka, jenis senjata api awal, memberi mereka keuntungan signifikan dibandingkan pasukan Korea, yang sebagian besar masih bergantung pada busur dan anak panah tradisional.
Selain itu, kode samurai Jepang "Bushido", yang menekankan kehormatan, keberanian, dan keterampilan pribadi dalam pertempuran, menghasilkan pejuang yang ganas dan disiplin.
Namun, di tengah badai kemajuan Jepang, muncul mercusuar perlawanan dalam bentuk angkatan laut Korea yang dipimpin oleh Laksamana Yi Sun-sin.
Dengan desain "kapal penyu" yang inovatif, dan taktik angkatan laut yang brilian, Yi berhasil melindungi jalur komunikasi laut Korea, mengganggu jalur pasokan Jepang, dan menjaga angkatan laut Jepang tetap terkendali.
Kemenangan angkatan laut ini, terutama pada Pertempuran Hansando, merupakan kemunduran signifikan pertama terhadap rencana invasi Hideyoshi. Sementara itu, Raja Korea Seonjo telah mengirimkan utusan ke istana Ming untuk meminta bantuan.
Pada musim dingin tahun 1592, Ming telah mengerahkan pasukan ekspedisi dalam jumlah besar, menandai dimulainya intervensi Tiongkok dalam perang.
Kedatangan pasukan Tiongkok menandakan perubahan gelombang perang, sehingga kemajuan Jepang menemui jalan buntu.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR